Oleh : Muhar Syahdi Difinubun | Direktur Eksekutif Sinergi Nusantara Institute; Anggota Syarikat Islam (SI).
Melanesiatimes.com – Dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Abdoel Moethalib Sangadji (1889-1947) tercatat sebagai salah satu tokoh penting yang menyuarakan kepedulian mendalam terhadap nasib rakyat Palestina. Lewat tulisannya berjudul “Kepentingan Palestina Bagi Kaum Muslimin” yang dimuat dalam majalah Fadjar Asia No. 210, September 1929, Sangadji tidak hanya mengutuk keras penjajahan atas tanah Palestina, tetapi juga menyerukan tanggung jawab moral umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk membela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Sangadji, bersama tokoh-tokoh besar lain seperti Hadji Agoes Salim (1884-1954) dan Abdul Rahman Baswedan (1908-1986), menanamkan benih solidaritas yang kuat terhadap Palestina jauh sebelum Indonesia merdeka. Lewat organisasi seperti Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) dan Komite Anshar Al-Islam yang dipimpinnya pada 1938, Sangadji menggugah kesadaran nasional akan pentingnya membela Palestina sebagai bagian dari perjuangan keadilan dan kemanusiaan global.
Lebih dari 90 tahun kemudian, semangat itu kembali menemukan relevansinya dalam sikap tegas dan misi diplomatik Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam lawatan ke lima negara penting Timur Tengah—UEA, Turki, Qatar, Mesir, dan Yordania—Prabowo membawa pesan solidaritas dan keinginan kuat Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi damai di Gaza. Ia menegaskan kembali dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina dan upaya evakuasi warga sipil sebagai bentuk nyata dari diplomasi kemanusiaan Indonesia.
“Indonesia sangat mendukung hak rakyat Palestina untuk merdeka dan memiliki negara sendiri,” ujar Prabowo dalam pernyataannya di Amman, Yordania (ANTARA, 14 April 2025). Lebih dari sekadar pernyataan politik, ini adalah aktualisasi dari nilai-nilai yang sejak dulu diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Sangadji: keberpihakan kepada yang lemah, penolakan terhadap penjajahan, dan komitmen kepada kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas.
Narasi panjang dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak lahir dari kekosongan sejarah. Fadjar Asia, surat kabar yang menjadi corong pergerakan Syarikat Islam (SI) dan dikelola tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934), Hadji Agoes Salim, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962), secara aktif menyuarakan isu-isu dunia Islam dan penindasan kolonial. Di dalamnya, Sangadji berdiri sebagai “pena” yang tajam, menggugah pembacanya akan pentingnya persatuan Islam dan solidaritas global.
Kini, misi Prabowo di Timur Tengah dapat dibaca sebagai bab lanjutan dari perjuangan panjang tersebut. Di tengah kompleksitas geopolitik dan tekanan internasional, Indonesia tetap berusaha menjaga posisinya sebagai suara yang konsisten menyuarakan keadilan dan kemerdekaan Palestina. Sebuah sikap yang tidak hanya berdimensi diplomatik, tetapi juga historis dan moral.
Dalam konteks ini, pena Sangadji tidak hanya menjadi simbol tulisan-tulisan perlawanan, tetapi juga ruh perjuangan yang kini hidup kembali dalam bentuk diplomasi strategis. Dari meja redaksi Fadjar Asia ke ruang perundingan internasional, nilai-nilai yang dahulu digoreskan dengan tinta kini dibawa dalam dokumen dan negosiasi kenegaraan.
Sejarah memang tidak berjalan linier, tetapi makna dan semangatnya bisa melintasi generasi. Ketika Presiden Prabowo berdiri di antara para pemimpin Timur Tengah untuk membicarakan nasib Gaza, kita tidak hanya melihat seorang kepala negara berbicara. Kita melihat warisan Sangadji yang hidup—bukan hanya sebagai narasi masa lalu, melainkan sebagai kompas moral yang terus menuntun arah bangsa. []