Ekonomi

Kebobolan Ekonomi Kelautan Capai Rp 522 Triliun, Pemerintah Didesak Bertanggung Jawab

100
×

Kebobolan Ekonomi Kelautan Capai Rp 522 Triliun, Pemerintah Didesak Bertanggung Jawab

Sebarkan artikel ini
Yasir Rumbouw/Ist

Melanesiatimes.com – Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia mengalami kebocoran yang sangat besar. Pasca moratorium di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) perairan 714, 715, dan 718, negara mengalami kerugian hingga Rp 522 triliun dari total potensi sumber daya ikan (SDI) sebesar Rp 954 triliun. Situasi ini menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah pusat.

Maluku: Surga Kelautan yang Terus Dieksploitasi

Maluku, dengan 92,2 persen wilayahnya berupa perairan, menyimpan kekayaan laut luar biasa. Namun, alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, eksploitasi oleh korporasi besar justru menyebabkan kerugian bagi masyarakat lokal. Ketua Umum Konsorsium Pemuda Seram (KONSPERAM), Yasir Rumbouw, mengungkapkan bahwa Maluku terus menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Maluku diberikan Otonomi Khusus (Otsus) di sektor Kelautan dan Perikanan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya secara mandiri.

Kajian KONSPERAM: Kebocoran Ratusan Triliun Rupiah

Hasil investigasi dan advokasi KONSPERAM terhadap regulasi perikanan, seperti KEPMEN KP No. 50 Tahun 2017 dan KEPMEN KP No. 19 Tahun 2022, menunjukkan bahwa potensi SDI di tiga wilayah WPPNRI (714, 715, dan 718) mencapai 4.669.030 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, 80 persen atau sekitar 3.735.224 ton diperbolehkan untuk ditangkap, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 68 persen atau setara dengan 2.548.854 ton per tahun.

Namun, data menunjukkan kebocoran ekonomi yang masif. Antara tahun 2018 hingga 2021, total kebocoran mencapai Rp 305 triliun, termasuk potensi retribusi Rp 15 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 30 triliun. Tidak hanya itu, sektor ekonomi kemaritiman seperti cargo peti kemas, tambat labuh, bahan bakar, alat tangkap nelayan, dan perbekalan kapal juga mengalami potensi kebocoran yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.

Situasi serupa berlanjut pada periode 2022-2024, dengan kebocoran ekonomi mencapai Rp 217 triliun, termasuk potensi PNBP pasca produksi Rp 21 triliun, retribusi Rp 10,5 triliun, dan PPN Rp 21 triliun. Jika ditotal, sejak 2018 hingga 2024, kebocoran ekonomi sektor kelautan mencapai Rp 522 triliun.

Kebijakan Eksploitasi Kuota Perikanan Dinilai Tidak Adil

Salah satu kebijakan yang dinilai merugikan Maluku adalah penerapan eksploitasi berbasis kuota yang berlaku selama 30 tahun untuk investasi asing dan nasional. Sementara itu, beberapa wilayah lain seperti WPPNRI 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman) serta WPPNRI 712 dan 713 hanya diperuntukkan bagi investasi dalam negeri dengan sistem non-kuota.

Menurut Yasir Rumbouw, kebijakan ini sangat bertentangan dengan prinsip keberlanjutan, transparansi, dan keadilan. Oleh karena itu, KONSPERAM mendesak pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk segera mengevaluasi kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mereka menuding bahwa kebijakan yang ada saat ini lebih menguntungkan korporasi yang diduga melakukan praktik ilegal fishing di perairan Maluku.

Panggilan untuk Tanggung Jawab Pemerintah

KONSPERAM menegaskan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, harus bertanggung jawab atas kebocoran triliunan rupiah yang merugikan rakyat Maluku. Pemerintah daerah juga didesak untuk mengambil langkah konkret dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang selama ini tidak menikmati hasil kekayaan laut mereka sendiri.

Jika tidak ada langkah serius untuk menghentikan kebocoran ekonomi ini, maka kesejahteraan masyarakat pesisir akan semakin terpuruk, sementara korporasi terus meraup keuntungan dari sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!