Hukum

Revisi UU Minerba oleh DPR Tidak Memenuhi Syarat Formil dan Material

×

Revisi UU Minerba oleh DPR Tidak Memenuhi Syarat Formil dan Material

Sebarkan artikel ini
Bayu Yusya, Kepala Divisi Media dan Publikasi PUSHEP.

Melanesiatimes.com – Usulan revisi Undang-Undang (UU) Minerba yang sedang digodok oleh DPR RI menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Proses penyusunan RUU Minerba, yang merupakan perubahan dari UU Nomor 4 Tahun 2009 yang telah dimodifikasi oleh UU 3 Tahun 2020 dan Perppu Cipta Kerja, dianggap tidak memenuhi sejumlah kriteria hukum baik secara formil maupun material. Kritik ini datang dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), yang menyoroti sejumlah ketidaksesuaian dalam prosesnya. Selasa (23/01/2025) lalu.

Menurut Bayu Yusya, Kepala Divisi Media dan Publikasi PUSHEP, revisi ini gagal memenuhi syarat formil karena tidak melalui prosedur yang benar. Salah satunya, RUU Minerba tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang merupakan langkah awal dalam perencanaan legislasi di Indonesia. Bahkan, alasan penggunaan “kumulatif terbuka” berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak tepat. Bayu mengingatkan bahwa pada Desember 2024, MK telah menolak judicial review terhadap UU Minerba terkait dengan pemberian lokasi tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas). Artinya, tidak ada masalah konstitusional yang mendasari perlunya revisi.

Kritik lainnya datang dari ketidaksesuaian cara revisi ini disusun. Proses yang terkesan “mendadak” ini tidak dilakukan oleh Komisi XII yang memiliki kewenangan dalam bidang pertambangan, melainkan melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR. Selain itu, tidak adanya sosialisasi publik, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam tahap penyusunan semakin memperkuat dugaan bahwa ada kepentingan tersembunyi yang mendorong revisi ini. “Ini jelas merupakan usaha revisi diam-diam dengan tujuan tertentu,” tegas Bayu.

Secara material, revisi ini juga tidak hanya mengatur soal jaminan pemanfaatan ruang untuk pertambangan, yang sebelumnya telah diputuskan oleh MK, tetapi juga mencakup pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan prioritas untuk berbagai pihak. Tidak hanya untuk BUMN, BUMD, dan Ormas keagamaan, tetapi juga untuk perguruan tinggi dan badan usaha swasta. Menurut Bayu, hal ini membuka peluang bagi pemerintah untuk memberikan IUP tanpa proses lelang, yang jelas berpotensi menimbulkan praktik yang tidak akuntabel.

Pemberian IUP kepada perguruan tinggi, lanjut Bayu, hanya sekadar trik pemasaran atau gimmick, sementara tujuan utama dari revisi ini terlihat lebih kepada “bagi-bagi” kepada pihak-pihak yang diinginkan oleh pemerintah. Hal ini, menurutnya, berpotensi menciptakan celah korupsi dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Berdasarkan hal tersebut, PUSHEP mendesak agar pemerintah segera menghentikan proses revisi UU Minerba ini. Mereka juga meminta agar tidak ada pengiriman Surat Presiden (Surpres) kepada DPR, dan menyarankan agar pembahasan lebih lanjut dibatalkan. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk melindungi transparansi, keadilan, dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *