OpinI

Om Jo: Pemantik Api Republik dari Timur Nusantara

×

Om Jo: Pemantik Api Republik dari Timur Nusantara

Sebarkan artikel ini

Melanesiatimes.com – Riuh di beranda medsos perihal ‘Tete Momo’ belakangan ini di negeri Christina Martha Tiahahu itu, hemat saya, justru menjadi pecutan kecil bagi kita semua agar supaya lebih sering memulangkan ingatan kolektif kita pada cita-cita mendasar perjuangan kemerdekaan republik ini. Jakarta (20/01/2024).

Tersebab perihal itu berkenaan dengan salah satu anak bangsa yang notabene merupakan putera asli negeri tersebut, yang turut serta dalam proses perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia adalah mendiang Om Jo, sebuah nama kecil yang kerap disebutkan oleh para karibnya kepada dr. Johannes Leimena.

Ketika berbicara tentang pahlawan nasional Indonesia, nama Johannes Leimena (1905-1977) sering kali tidak muncul dalam deretan terdepan. Tentu, selain Leimena, ada pula tokoh pejuang pada masa pra kemerdekaan dari Maluku sebagai pendahulu Leimena seperti ‘Jago Toea’ A.M. Sangadji. Keduanya merupakan dua putera asal Maluku yang ikut menyukseskan terselenggaranya Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 silam. Sayangnya, posisi keduanya dalam gelar kepahlawanan nasional berbeda. Leimena sudah lebih duluan diakui statusnya oleh negara, sementara A.M. Sangadji–yang sepantaran eranya dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agoes Salim itu–hingga saat ini belum.

Khusus tentang Leimena, peran tokoh asal Maluku ini dalam perjalanan bangsa sangatlah signifikan. Sebagai seorang dokter, politisi, dan negarawan, Leimena menjadi simbol perjuangan dan dedikasi tanpa pamrih untuk Indonesia yang merdeka dan bersatu.

Lahir di Ambon pada era pra kemerdekaan (6 Maret 1905), Leimena tumbuh di tengah masyarakat yang sarat akan nilai-nilai kebersamaan (kolektivitas). Pendidikan kedokterannya di STOVIA yang dilanjutkan di de Geneeskunde, Batavia, tidak hanya membentuknya sebagai seorang profesional medis, tetapi juga membuka matanya terhadap ketidakadilan kolonial yang menggerogoti rakyat pribumi. Kepeduliannya terhadap rakyat kecil membuatnya aktif di bidang sosial dan politik.

Leimena dikenal sebagai tokoh yang menjembatani dua aspek penting: kesehatan dan politik. Sebagai dokter, ia memprakarsai banyak inisiatif untuk meningkatkan akses layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin.

Salah satu kontribusinya yang paling dikenal adalah gagasan besarnya tentang pendirian Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang menjadi simbol perhatiannya terhadap kesehatan rakyat.

Dalam blantika politik nasional, Leimena adalah sosok moderat yang mampu merangkul berbagai kelompok. Sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian sebagai menteri dalam beberapa periode pemerintahan kabinet, ia memegang peranan penting dalam meletakkan dasar negara yang inklusif. Bahkan, ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, menunjukkan kepercayaan tinggi yang diberikan kepadanya.

Sebagai seorang Kristen yang aktif, Leimena juga menunjukkan bahwa agama tidak menjadi penghalang untuk menjunjung nilai-nilai kebangsaan. Ia percaya bahwa keberagaman Indonesia (diversity of Indonesia) adalah kekuatan, bukan kelemahan. Pendiriannya ini menjadi penanda bahwa semangat persatuan dan toleransi adalah nilai-nilai yang selalu ia perjuangkan.

Namun, kontribusi besar Leimena sering kali terlupakan. Hal ini mungkin karena ia tidak mencari sorotan atau menciptakan narasi heroik seperti tokoh-tokoh lain. Baginya, pengabdian kepada negara adalah kewajiban moral, bukan sarana untuk mencari popularitas.

Om Jo adalah pemantik api Republik dari Timur Nusantara, yang mengajarkan kita bahwa kontribusi besar tidak selalu hadir dengan sorotan terang. Sebagai bangsa, kita memiliki kewajiban untuk mengenang dan meneladani sosoknya–seorang tokoh yang tidak hanya berjuang demi kemerdekaan, tetapi juga demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Di abad tik tok yang semakin menggejala ini, ditandai dengan krisis literasi terutama tentang sejarah bangsa kita sendiri, maka dampak yang paling mungkin muncul ke permukaan ruang publik kita ialah ucapan ‘Tete Momo’ seperti disebutkan si ‘nona baju kuning’ itu kepada patung mendiang Om Jo.

Kondisi tersebut bukan tidak mungkin adalah rentetan dari beberapa kejadian sebelumnya, antara lain bakulai (baca: perkelahian fisik) antar kelompok masyarakat yang belum lama ini viral di sana. Atau persoalan kesewenangan oknum-oknum aparat keamanan yang merasa paling powerfull atau kebal hukum sehingga dengan mudahnya main hakim sendiri kepada masyarakat setempat.

Kesemuanya itu, boleh jadi, ialah efek dari sikap acuh tak acuh atau masa bodoh kita terhadap identitas kita sendiri sebagai bangsa yang majemuk serta senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi bagi terwujudnya kehidupan bersama (living together). Sebuah keteladanan hidup yang telah diwariskan oleh Om Jo kepada kita itu.

Dus, dalam perjalanan Indonesia sebagai negara yang majemuk, semangat Leimena menjadi inspirasi untuk terus membangun persatuan, memperjuangkan keadilan, dan merawat nilai-nilai kebangsaan. Ia adalah pengingat bahwa Indonesia dibangun oleh berbagai tangan, dari berbagai suku, agama, dan wilayah, termasuk dari Timur Nusantara.

Oleh: Muhar Syahdi Difinubun

Direktur Eksekutif  Sera Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *