HukumPeristiwa

Klarifikasi/Hak Jawab Berita Melanesia Times

×

Klarifikasi/Hak Jawab Berita Melanesia Times

Sebarkan artikel ini
Gambar – Surat Klarifikasi/Hak Jawab Berita Melanesia Times.

Klarifikasi/Hak Jawab Berita Melanesia Times

Nomor: 1498/FHV/SP/XII/2024

Hal: Surat Klarifikasi

Jakarta, 02 Desember 2024

Kami ucapkan terima kasih atas perhatianya. Bersama ini, kami sebagai penasihat
hukum Dr. Ike Farida, S.H., LL.M. (“KLIEN”) hendak menyampaikan Hak Jawab dan
Hak Koreksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik dan Pasal 5 UU
No. 40/1999 tentang PERS, sebagai berikut:

1. Bahwa kami menemukan berita berjudul “Unsur Mens Rea Dalam Kasus Sumpah
Palsu Ike Farida” yang dipublikasikan dalam portal berita MELANESIATIMES
(laman https://melanesiatimes.com/2024/11/01/unsur-mens-rea-dalam-kasus-sumpah-palsu-
ike-farida/) pada 1 November 2024. Adapun dalam berita tersebut, terdapat
informasi yang tidak akurat, antara lain:

“…. namun Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan
penggelapan dan dihentikan karena tidak ada unsur pidanya (SP3), kemudian Ike Farida
mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan
tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.”


“Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, Kuasa Hukum Ike Farida pada
saat itu secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan
terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan
pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.”

“Nurindah selaku kuasa hukum digambarkan selalu berkordinasi dan minta persetujuan
kepada seseorang yang dipanggil Sensei (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini
juga terdengar sebagai sorok pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah.”

2. Bahwa faktanya upaya hukum yang diajukan KLIEN, dari mulai melayangkan
laporan polisi sampai memberikan somasi, tidaklah dapat dikategorikan sebagai
itikad buruk, melainkan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hak
keperdataannya. Faktanya, unsur kesengajaan justru dilakukan pihak
pengembang dengan mengabaikan kewajibannya terhadap pendaftaran
pertelaan apartemen/rumah susun sampai upaya peninjauan kembali diajukan
(hal ini menunjukkan actus reus dan mens rea).

3. Bahwa faktanya KLIEN memberikan kuasa penuh untuk proses peninjauan
kembali kepada para kuasa hukumnya (tidak langsung turut terlibat dalam
proses peninjauan kembali). Dalam hal ini, KLIEN tidak mengontrol setiap
tindakan para penasihat hukumnya. KLIEN tidak mengetahui bahwa bukti baru,
yang menjadi objek utama dalam perkara, pernah digunakan dalam perkara
sebelumnya. Di samping itu, SP3D hasil Gelar Perkara Khusus yang diterbitkan
kapolri menyebutkan bahwa tidak terdapat mens rea KLIEN atas pelaporan
tuduhan pelanggaran Pasal 242 KUHP. Sehingga, pengajuan Novum tersebut
bukanlah bentuk kesengajaan.

4. Bahwa faktanya berdasarkan yurisprudensi MA RI No. 609 K/Pid/2016 dalam
pertimbangannya didapati bahwa seandainya suatu bukti yang dianggap sebagai
novum pernah diajukan dan ternyata bukti tersebut tidak mempunyai kualitas
sebagai novum, maka seseorang tidak dapat dipidana karena hal tersebut
merupakan hak keperdataannya.

5. Bahwa faktanya KLIEN merupakan konsumen yang membeli 1 (satu) unit rumah
susun di Apartemen Casa Grande Residence, Jl. Casablanca Kav. 88, Jakarta
Selatan, dari PT Elite Prima Hutama (PT EPH). Meskipun telah dilunasi sejak Mei
2012 lalu, PT EPH hingga kini menolak untuk memenuhi kewajibannya, yaitu
menyerahkan unit tersebut secara keseluruhan, serta melakukan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan menandatangani Akta Jual Beli (AJB) dengan
alasan yang kabur dan tidak berdasar hukum. Berdasarkan alasan tersebut,
KLIEN mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT EPH di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.

6. Bahwa demi mempertahankan hak keperdataannya, KLIEN telah menempuh
upaya hukum dan memenangkan 8 (delapan) putusan pengadilan yang final dan
binding, serta berkekuatan hukum tetap. Adapun sengketa kepemilikan tersebut
semestinya berakhir dengan keluarnya Berita Acara Eksekusi secara
SUKARELA berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI
No. 53 PK/PDT/2021 (Putusan PK 53/2021) pada 13 April 2021, sebagaimana
dalam amar putusan menyatakan bahwa:

a. PT EPH merupakan pengembang yang beritikad buruk, terbukti melakukan
perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
b. Dr. Ike Farida, S.H., LL.M. merupakan pembeli yang beritikad baik dan patut
dilindungi hukum; dan
c. PT EPH dihukum untuk menyerahkan unit dan menandatangani PPJB.
Alih-alih menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan,
PT EPH justru merampas hak KLIEN selama 12 tahun dan kini mengusahakan
segala cara untuk mengkriminalisasi konsumennya sendiri.

Hormat kami,
KUASA HUKUM DR. IKE FARIDA, S.H., LL.M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *