Melanesiatimes.com – Saya patut berbangga ketika sebuah nama yang menyejarah ini telanjur terpampang di mana-mana. Suatu saat, saya juga sempat melihat nama tersebut terpampang sebagai sebuah nama apartemen alias apete seperti yang dinyanyikan Bruno Mars dan Rose BlackPink itu. Lalu beberapa kali waktu saat melintasi salah satu ruas jalan di kawasan Tanah Abang, Jakpus.
Tapi, siapakah KS Tubun itu? Sebagian orang yang akrab dengan rentetan episode sejarah bangsa ini, satu di antaranya ialah peristiwa ’65 (30 S), mungkin dapat mengenal sosok ini dengan baik. Ia salah satu dari beberapa nama (umumnya jenderal) yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
Sebagai sebuah nama yang telanjur meng-Indonesia sejauh ini, nama KS Tubun yang populer itu bahkan barangkali telah melampaui jejak kulturalnya, misalnya, dari daerah mana ia berasal? Lantas, apakah telah sesuai penyebutan atau penulisan nama itu?
Kasus tersebut seapi dua tungku dengan nama yang tak kalah populer lainnya dalam sejarah nasional pasca kemerdekaan bangsa ini ketika itu, yakni: Komarudin. Sebuah ikon pejuang merah-putih dalam peristiwa ‘janur kuning’.
Namanya yang sesuai ialah Karel Sadsuitubun. Karel adalah nama depan beliau, sedangkan Sadsuitubun adalah nama belakang yang sekaligus marga/fam beliau. Tak ada penggunaan kata ‘Tubun’ untuk mengidentikkan nama marga di Kei. Yang ada adalah: ‘Ubun’, ‘Yaan’, ‘Warin’, dlsb. Sadsuitubun sendiri adalah seorang polisi ketika itu yang berasal dari Kepulauan Kei, Maluku. Artinya, penulisan KS. Tubun tentu telah menyalahi secuplik jalan cerita sejarah negeri ini. Setidaknya, sejarah tentang Karel Sadsuitubun itu sendiri.
Barangkali ada yang akan menyanggah bahwa itu hanya persoalan teknis. Substansinya bahwa saat ini beliau telah menjadi salah seorang pahlawan yang diakui oleh negara. Jadi, anggaplah itu typo. Oh, nehi, ferguso! Jika pun itu typo, logikanya harus ada perbaikan jauh-jauh dekade sebelumnya. Faktanya, hingga saat ini, tidak ada ikhtiar baik itu untuk mengubah penulisan namanya sesuai dengan nama mendiang yang sebenarnya.
“What’s in a name? That’s which we call rose by any other name would smell as sweet”, sebut Shakespeare, seorang penulis legendaris dari Inggris itu. Nama adalah representasi dari makna -makna kontekstual yang melekat pada subjek (manusia) tertentu. Termasuk bagi seorang Karel Sadsuitubun yang telah sekian lama di-KS Tubun-kan.
Sebuah catatan ringan di bawah curahan mendung sore ini, tentu tak mungkin lantas mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan di atas sana untuk proses perbaikan nama sang pahlawan. Tapi paling tidak, hal ini mesti tersampaikan ke publik, kepada siapapun yang sempat membacanya, agar menjadi semacam informasi kecil tentang sejarah bangsa di antara selumbung informasi besar yang berseliweran itu.
Sebenarnya, bukan hanya ada Karel Sadsuitubun. Mendiang Komarudin, konon, nama asli beliau adalah Eli Yakim Teniwut, juga dari Kepulauan Kei. Selain salah seorang pejuang merah-putih lainnya yang juga berasal dari daerah yang sama, yakni: Bonaventura Setitit (Opa Bon).
Oleh: Muhar Syahdi Difinubun
Ketua Bidang Organisasi DPP AMKEI; _Caretaker_ Ketua Umum DPW AMKEI Maluku Utara; Direktur Eksekutif _Sera Institute