Melanesiatimes.com – Dalam upaya mengatasi tantangan limbah pangan yang meluas, Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Canberra menggelar Strategic Talk #4 bertajuk “Food Waste and Food Sustainability: Lessons from Australia and Indonesia”. Webinar yang berlangsung pada Kamis (14/11) ini mempertemukan para pakar pangan dari Indonesia dan Australia untuk berbagi wawasan serta mendiskusikan solusi berkelanjutan.
Kolaborasi Dua Negara untuk Masalah Bersama
Dari Australia, hadir Pablo Juliano Otero, seorang pemimpin di bidang Food Processing and Supply Chains dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO). Sementara Indonesia diwakili oleh dua profesor IPB University, Sahara dan Eko Hari Purnomo. Diskusi ini dimoderatori oleh Mayrianti Annisa Anwar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dalam pembukaannya, Atdikbud Mukhamad Najib menyoroti bahwa food waste masih menjadi tantangan besar di kedua negara. Di Australia, kerugian ekonomi akibat limbah pangan diperkirakan mencapai AUD 36,6 juta. Di sisi lain, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara pembuang makanan terbesar di dunia setelah Arab Saudi.
“Kesamaan masalah ini menjadi peluang untuk memperkuat kerja sama. Upaya mengurangi perilaku boros pangan tidak hanya membantu mengatasi kelangkaan pangan, tetapi juga membuka jalan menuju sistem pangan yang berkelanjutan,” ujar Najib.
Inovasi dan Langkah Konkret
Pablo Juliano memaparkan upaya Australia mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Dengan fokus pada pengembangan teknologi sirkular dan platform up-cycling, limbah pangan diolah menjadi produk baru yang bernilai tambah. Teknologi ini menjadi salah satu strategi utama dalam mengurangi dampak negatif food waste terhadap lingkungan.
Sementara itu, Sahara mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 213–551 triliun per tahun akibat limbah pangan. Untuk itu, pemerintah telah meluncurkan berbagai kampanye, seperti gerakan “Setop Boros Pangan”. Sahara juga menekankan pentingnya perubahan perilaku masyarakat sebagai kunci dalam mengurangi limbah pangan secara signifikan.
Eko Hari Purnomo menambahkan bahwa food lost lebih sering terjadi pada tahap awal rantai pasok, terutama di sektor hortikultura dan perikanan. Sementara food waste banyak terjadi ketika makanan sudah siap saji namun tidak dikonsumsi. Ia juga menyoroti perlunya penerapan good handling practices (GHP) untuk menjaga kualitas dan kuantitas nutrisi pangan.
“Regulasi menjadi tantangan. Misalnya, perusahaan yang ingin mendonasikan makanan masih terbebani pajak, sehingga lebih memilih membuangnya,” jelas Eko.
Dukungan Luas dan Harapan Masa Depan
Webinar ini dihadiri lebih dari 100 peserta, termasuk akademisi, peneliti dari lembaga seperti BRIN, aktivis pangan, hingga perwakilan Food Bank Indonesia. Para peserta sepakat bahwa diskusi mengenai food lost dan food waste perlu dilanjutkan untuk menghasilkan solusi konkret bagi kedua negara.
Melalui kolaborasi ini, Indonesia dan Australia diharapkan dapat mengembangkan langkah inovatif untuk mengurangi limbah pangan, meningkatkan efisiensi ekonomi, serta menjaga kelestarian lingkungan.
Post Views: 14
Tidak ada komentar