HukumPeristiwa

Unsur Mens Rea Dalam Kasus Sumpah Palsu Ike Farida

23
×

Unsur Mens Rea Dalam Kasus Sumpah Palsu Ike Farida

Sebarkan artikel ini

Melanesiatimes.com – Sidang pembuktian pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara sumpah palsu dengant terdakwa Ike Farida hari ini , Kamis (31/10/2024) mengagendakan pemeriksaan keterangan saksi ahli pidana, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., M.BA.

Dalam keterangannya saksi ahli menjelaskan beberapa hal tentang pemenuhan unsur pidana menurut pasal 242 KUHP dan hubungannya dengan sumpah novum.

Ketika ditanya Jaksa tentang makna pasal 242 KUHP dalam kasus sumpah palsu, ahli menerangkan bahwa yang dapat dipidana dengan pasal itu adalah orang pribadi atau orang menyuruh kuasanya.

Ahli juga menjelaskan tentang doktrin unsur pemidanaan harus ada opzet (kesengajaan), actus reus (perbuatan salah) dan mens rea (niat jahat).

Dalam kasus sumpah palsu Ike Farida unsur pemidaan tersebut dimulai ketika PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tidak bisa dilaksanakan kemudian pengembang berniat mengembalikan uang yang telah dibayarkan, dan bahkan telah mengajukan konsinyasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dikabulkan, namun Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan dihentikan karena tidak ada unsur pidanya (SP3), kemudian Ike Farida mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.

“Jadi tadi sudah saya terangkan di depan sidang, bahwa yang katanya upaya hukum namun kalau saya bilang itu suatu mens rea (niat jahat), ngasih somasi tiga kali berturut-turut tiga minggu, yang kedua laporin pidana yang kemudian di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan karena tidak ada bukti adnya delik pidana), yang ketiga pihak perusahaan (pengembang) menitipkan uangnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian dibantahnya (Ike Farida) gak mau ngambil, yang keempat dia menggugat perdata, yang kelima terjadinya PK (Peninjuan Kembali dengan novum yang seolah-olah baru ditemukan) itu. Apa itu bukan mens rea, katanya itu upaya hukum, tapikan itu menyerang habis dengan berbagai cara,” kata ahli pidana Suhandi kepada Wartawan, Kamis (31/10/2024).

“Terkait terpenuhi atau tidak Pasal 242 biarlah Majelis yang menilai, begitu juga bersalah atau tidaknya (Ike Farida) biar Majelis yang menentukan,” imbuh Suhandi lebih lanjut.

Kuasa hukum Ike Farida sempat mempertanyakan mengapa Hakim Ketua tidak memberi peringatann terlebih dahulu sebagaimana Pasal 174 KUHP sebelum ditetapkan pidana sumpah palsu Pasal 242 KUHP? “Karena sumpah sudah dilakukan dan novum telah digunakan dalam perkara perdata sebelumnya,” kata ahli Suhandi.

Kemudian kuasa hukum Ike Farida, Kamaruddin Simanjuntak juga menanyakan pendapat ahli kalau ada surat Kapolri kepada Polda Metrojaya yang tidak mens rea dan actus reus dalam perkara ini. Ahli menjawab bahwa ahli tidak pernah melihat surat tersebut. Kamaruddin juga mempertanyakan pendapat ahli mengenai penerapan Pasal 55 KUHP, dan ahli menjelaskan bahwa perbuatan pidana kemungkinan dilakukan lebih dari satu orang atau dan kawan-kawannya.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam kasus sumpah palsu dengan terdakwa Ike Farida berkaitan dengan sumpah novum dilakukan oleh Nurindah Melati Monika Simbolon berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Ike Farida.

Perkara ini berkembang menjadi laporan pidana sumpah palsu, karena sumpah novum yang dilakukan Nurindah tersebut menyertakan novum Surat Kanwil BPN DKI Jakarta Nomor 3212 tertanggal 27 November 2015 yang sudah pernah digunakan pada perkara sebelumnya di Pengadilan negeri Jakarta Selatan dan tertera dalam salinan putuşan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2015 yang dituliskan sebagai bukti P-65.

Selain itu, Sumpah Novum juga menyertakan novum pencatatan pelaporan akta perkawinan pisah harta antara Ike Farida dan suaminya pada tahun 2017 yang sudah pernah digunakan sebagai bukti dalam upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Sehari sebelumnya, Rabu (30/10/2024), saksi ahli digital forensik menyebutkan bahwa pihaknya telah memeriksa barang bukti elektronik berupa telpon genggam milik Nurindah untuk mengetahui percakapan antara Nurindah dengan Ike Farida dalam rentang waktu Februari – Desember 2020.

Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, Kuasa Hukum Ike Farida pada saat itu secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.

Nurindah selaku kuasa hukum digambarkan selalu berkordinasi dan minta persetujuan kepada seseorang yang dipanggil Sensei (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini juga terdengar sebagai sorok pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah. Ahli menyebut bahwa Sensei ini tidak lain adalah terdakwa Ike Farida.

“Saya memeriksa percakapan whatsapp group (WAG) antara Nurindah dengan anggota group yang membicarakan permohonan memori peninjauan kembali dan sidang sumpah novum”, kata Saji Purwanto ketika menjawab pertanyaan Jaksa, Rabu (30/10/2024).

Hal tersebut mendapat tanggapan dari TIM Kuasa Hukum Ike Farida, berikut tanggapan/klarifikasi dari Kuasa Hukum terkait berita diatas :

1. Bahwa kami menemukan berita berjudul “Unsur Mens Rea Dalam Kasus Sumpah
Palsu Ike Farida” yang dipublikasikan dalam portal berita MELANESIATIMES
(laman https://melanesiatimes.com/2024/11/01/unsur-mens-rea-dalam-kasus-sumpah-palsu-
ike-farida/) pada 1 November 2024. Adapun dalam berita tersebut, terdapat
informasi yang tidak akurat, antara lain:

“…. namun Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan
penggelapan dan dihentikan karena tidak ada unsur pidanya (SP3), kemudian Ike Farida
mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan
tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.”


“Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, Kuasa Hukum Ike Farida pada
saat itu secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan
terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan
pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.”

“Nurindah selaku kuasa hukum digambarkan selalu berkordinasi dan minta persetujuan
kepada seseorang yang dipanggil Sensei (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini
juga terdengar sebagai sorok pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah.”

2. Bahwa faktanya upaya hukum yang diajukan KLIEN, dari mulai melayangkan
laporan polisi sampai memberikan somasi, tidaklah dapat dikategorikan sebagai
itikad buruk, melainkan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hak
keperdataannya. Faktanya, unsur kesengajaan justru dilakukan pihak
pengembang dengan mengabaikan kewajibannya terhadap pendaftaran
pertelaan apartemen/rumah susun sampai upaya peninjauan kembali diajukan
(hal ini menunjukkan actus reus dan mens rea).

3. Bahwa faktanya KLIEN memberikan kuasa penuh untuk proses peninjauan
kembali kepada para kuasa hukumnya (tidak langsung turut terlibat dalam
proses peninjauan kembali). Dalam hal ini, KLIEN tidak mengontrol setiap
tindakan para penasihat hukumnya. KLIEN tidak mengetahui bahwa bukti baru,
yang menjadi objek utama dalam perkara, pernah digunakan dalam perkara
sebelumnya. Di samping itu, SP3D hasil Gelar Perkara Khusus yang diterbitkan
kapolri menyebutkan bahwa tidak terdapat mens rea KLIEN atas pelaporan
tuduhan pelanggaran Pasal 242 KUHP. Sehingga, pengajuan Novum tersebut
bukanlah bentuk kesengajaan.

4. Bahwa faktanya berdasarkan yurisprudensi MA RI No. 609 K/Pid/2016 dalam
pertimbangannya didapati bahwa seandainya suatu bukti yang dianggap sebagai
novum pernah diajukan dan ternyata bukti tersebut tidak mempunyai kualitas
sebagai novum, maka seseorang tidak dapat dipidana karena hal tersebut
merupakan hak keperdataannya.

5. Bahwa faktanya KLIEN merupakan konsumen yang membeli 1 (satu) unit rumah
susun di Apartemen Casa Grande Residence, Jl. Casablanca Kav. 88, Jakarta
Selatan, dari PT Elite Prima Hutama (PT EPH). Meskipun telah dilunasi sejak Mei
2012 lalu, PT EPH hingga kini menolak untuk memenuhi kewajibannya, yaitu
menyerahkan unit tersebut secara keseluruhan, serta melakukan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan menandatangani Akta Jual Beli (AJB) dengan
alasan yang kabur dan tidak berdasar hukum. Berdasarkan alasan tersebut,
KLIEN mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT EPH di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.

6. Bahwa demi mempertahankan hak keperdataannya, KLIEN telah menempuh
upaya hukum dan memenangkan 8 (delapan) putusan pengadilan yang final dan
binding, serta berkekuatan hukum tetap. Adapun sengketa kepemilikan tersebut
semestinya berakhir dengan keluarnya Berita Acara Eksekusi secara
SUKARELA berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI
No. 53 PK/PDT/2021 (Putusan PK 53/2021) pada 13 April 2021, sebagaimana
dalam amar putusan menyatakan bahwa:

a. PT EPH merupakan pengembang yang beritikad buruk, terbukti melakukan
perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
b. Dr. Ike Farida, S.H., LL.M. merupakan pembeli yang beritikad baik dan patut
dilindungi hukum; dan
c. PT EPH dihukum untuk menyerahkan unit dan menandatangani PPJB.
Alih-alih menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan,
PT EPH justru merampas hak KLIEN selama 12 tahun dan kini mengusahakan
segala cara untuk mengkriminalisasi konsumennya sendiri.

Hormat kami,
KUASA HUKUM DR. IKE FARIDA, S.H., LL.M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *