Melanesiatimes.com – Pilkada Provinsi Papua Barat Daya menuai kontroversi pasca putusan MRPBD terhadap salah satu pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yakni Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw. Sabtu (07/09/2024).
Praktisi Politik Bram Umpain Dimara melalui WhatsAppnya kepada Media ini menyampaikan bahwa soal lolos dan tidaknya pasangan calon, tergantung pada penyelenggaraan.
“Saya menghargai putusan MRP soal Pertimbangan OAP yang diputuskan tadi malam tanggal 6 September 2024 tentang Statuta OAP, namun disisi lain soal Pencalonan lolos dan tidaknya Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur tergantung syarat pencalonan yang di verifikasi oleh Lembaga Penyelenggara yaitu KPU dan Bawaslu,” kata Bram
Ia juga menyampaikan, MRPBD adalah lembaga kultur, tidak hanya berbicara tentang pencalonan OAP, tetapi juga Hak Kesulungan OAP.
“artinya MRP Lembaga Kultur tidak hanya berbicara tentang Pencalonan HAK OAP melainkan hak Kesulungan OAP, yang juga melekat pada pembangunan, karena yang menikmati pembangunan adalah Masyarakat OAP, maka Keputusan MRP juga harus ada muatan keputusan politik Kepala Daerah terpilih, tidak boleh menganak tirikan Masyarakat OAP di calon OAP yang kalah, karena kalau terjadi sama saja tidak membangun Masyarakat OAP secara pemerataan dari segi Ekonomi Pembangunan,” ujarnya
Menurutnya, MRP telah mengambil keputusan soal seleksi OAP yang berkaitan dengan status OAP, tetapi bukanlah bagian dari verifikasi penyelenggara Pilkada yaitu KPU Papua Barat Daya soal Kompetensi Absolut, tentang syarat pencalonan, maka KPU mengacu harus pada syarat pencalonan tersebut, bukan mengacu pada keputusan diluar Penyelenggara.
Bram Umpain menuturkan, KPU RI & KPU PBD tidak mencantumkan syarat MRP tersebut didalam tahapan dan jadwal secara nasional, jadi masih tumpang tindih keputusan MRP, masih bisa disinyalir melampaui kewenangan KPU tentang tahapan tersebut.
Bram juga menjelaskan bahwa, Jadi serba salah MRP memutuskan, sebab yang berbeda disini menurut pandangan Hukum tentang kewenangan Absolut itu terletak pada Penyelenggara (KPU).
“Jadi serba salah MRP memutuskan sebab yang berbeda disini menurut pandangan Hukum tentang kewenangan Absolut itu terletak pada Penyelenggara (KPU) yang bukan merupakan Komisi Indenpendent Pemilihan (KIP) seperti Wilayah Otsus lainnya yaitu Aceh & Jogja yang telah terbentuk dalam Undangundang Pemilu/Pemilukada,” jelasnya
Kata Bram Umpain Dimara, syarat mutlak pencalonan adalah memiliki B1 KWK Parpol yang merupakan Format Penyelenggara sebagai persyaratan dalam konteks pengusung, kalau dibuat perbedaan tentu kaitannya tetap mengarah pada Kompetensi Absolut tersebut artinya di Papua Barat Daya belum ada :
- Partai Lokal
- Status KPU belum berubah menjadi KIP
- Syarat B1 KWK yang termuat dalam SILON KPU melalui Partai Politik
- Tidak ada syarat B1 KWK MRP-PBD
- KPU RI tidak mensosialisasikan kepada Parpol di Pusat agar tidak menjadi nola liar di Papua tentang B1 KWK Parpol harus Calon OAP
- Tidak ada keputusan bersama antara KPU-RI, Pemerintah Pusat, Komisi II DPR-RI, Bawaslu-RI dan Praktisi PERLUDEM agar tidak menjadi Problem Hukum di Papua Barat Daya.
Menurut Bram selaku Aktivis Politik Muda Raja Ampat, Keputusan MRP-PBD tidak salah tapi sangat perlu dimengerti karena tidak bisah dijadikan Syarat Pencalonan.
“Keputusan MRP-PBD tidak salah tapi sangat perlu dimengerti karena tidak bisah dijadikan syarat pencalonan karena persyaratannya bersifat pertimbangan dan tidak bersifat mengikat secara hukum, kata Bram, untuk itu Keputusan MRP-PBD sangat perlu mendapatkan pertimbangan dari tingkatan lebih tinggi lagi yaitu Pemerintah Pusat, DPR-RI, Komisi II, KPU-RI, Bawaslu-RI, Perludem dan Mendagri serta Praktisi Hulum lainnya, hal ini perlu duduk bersama demi mencegah Konflik di Papua Barat Daya,” tutupnya. (Ino)