Melanesiatimes.com – Jika ditanya boleh atau tidak masyarakat melarang eks narapidana (Napi) atau mantan terpidana kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk maju mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka jawabannya boleh saja.
Mengungkapkan protes terhadap eks napi Tipikor yang maju Pilkada adalah kebebasan dan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Hak ini juga tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU HAM:
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat boleh melarang, namun peraturan membuka peluang eks napi Tipikor maju di Pilkada. Salah satu alasan hal itu dapat dilakukan adalah apabila telah melampaui waktu 5 tahun sejak eks napi Tipikor itu bebas atau selesai menjalankan masa hukuman penjaranya dan mengemukakan secara transparan ke publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Berikut penjelasannya:
Syarat Khusus bagi Eks Napi Tipikor yang Maju Pilkada
Pada dasarnya, sejumlah syarat bagi setiap warga negara yang ingin mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota telah tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang UU 10/2016.
Hari kita lihat banyak tersebar gambar di group-group Whatsapp tentang mantan Napi Koruptor di Raja Ampat yang mendapatkan B1KWK dari Parpol-parpol nonseat (tidak memiliki kursi), hal itu tentu sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru. Waisai 28/08/2024.
Melalui laman media ini, Arfan Poretoka SH yang juga sebagai Advokat Muda Raja Ampat angkat bicara.
“Yang perlu di garis bawahi adalah Ibu SW ini kemarin sudah diputuskan oleh pengadilan dan putusan tersebut onslag (atau lepas dari tuntutan hukum). Ujar Arfan
Lebih lanjut ia mengatakan, Dalam keputusan tersebut kemudian Jaksa mengajukan Kasasi, karena memang yang harus dilakukan Jaksa adalah Kasasi terhadap putusan tersebut (tidak bersalah). Pungkasnya
“Artinya adalah karena putusan hukum belum inkrah, orang tersebut secara persyaratan hukum atau secara persyatan administrasi di KPU untuk pendaftaran sebagai Calon Kepala Daerah, tentu itu belum bisa maka ini yang menjadi perhatian khusus bagi KPU agar memperhatikan dengan teliti berkaitan dengan persyaratan-persyaratan paslon yang satu ini,” Tutup Advokat Muda yang kerap disapa Bro Arfan itu.