Keamanan

Bahas Strategi Penanggulangan Deportan Terpapar Radikalisme-Terorisme, Serdik Sespimti Gelar FGD Aktualisasi Diri

95
×

Bahas Strategi Penanggulangan Deportan Terpapar Radikalisme-Terorisme, Serdik Sespimti Gelar FGD Aktualisasi Diri

Sebarkan artikel ini
FGD Didik Novi Rahmanto
FGD Didik Novi Rahmanto dengan tema "Strategi Penanggulangan Deportan Terpapar Radikalisme-Terorisme Guna Mengoptimalkan Penegakan Hukum Dalam Rangka Terwujudnya Keamanan Dalam Negeri".

Melanesiatimes.com – Dalam rangka untuk menjaga keamanan dalam negeri, penegakan hukum menjadi salah satu pilar utama yang harus diperkuat. Dengan penegakan hukum yang kuat, maka negara dapat melindungi warganya dari berbagai ancaman yang berpotensi merusak stabilitas dan kedamaian.

Hanya saja saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan-tantangan kompleks terkait fenomena FTF (Foreign Terrorist Fighters) yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Mereka yang dideportasi karena usahanya untuk terlibat dengan ISIS telah menambah kompleksitas lanskap keamanan nasional.

Mengutip data Satgas FTF BNPT tahun 2024, saat ini terdapat 583 deportan terpapar paham radikalisme-terorisme yang tersebar di 21 wilayah di Indonesia. Jumlah ini termasuk mereka yang ingin bergabung dengan ISIS maupun mereka yang menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Merespons data ini, Kombes Pol Dr. Didik Novi Rahmanto yang merupakan Serdik Sespimti Dikreg ke-33 T.A 2024 menyebut penanggulangan deportan terpapar radikalisme dan terorisme harus segera diwujudkan secara komprehensif.

“Kondisi ini membuat penegakan hukum yang optimal semakin mendesak untuk segera diwujudkan untuk penanggulangan terorisme, terutama terkait dengan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme,” kata Kombes Pol Didik, Senin (29/7/2024).

Didi Novi Rahmanto
Kombes Pol Didi Novi Rahmanto saat memberikan prolog pembuka dalam FGD yang diselenggarakannya.

Ia juga menyebut bahwa deportan yang terpapar dalam ideologi ekstrem harus direspons dengan upaya penegakan hukum yang cermat dan proaktif untuk memastikan kepastian hukum dilaksanakan dengan menjunjung tinggi HAM.

“Kondisi ini tentunya perlu disadari oleh aparat Pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia,” tuturnya.

Khusus terkait tantangan penanganan deportan kasus radikalisme-terorisme, akademisi sekaligus Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhamad Syauqillah menyebut rotasi pimpinan di tubuh institusi aparat penegak hukum sebagai salah satu pangkal persoalannya.

“Bagaimana staf di lapangan berotasi, atau kepemimpinan berganti, itu yang kemudian sering mengganggu penanganan deportan yang sedang berlangsung,” kata Syauqillah.

Dengan demikian, ia mengusulkan agar dibuat sebuah pedoman bersama bagaimana fokus penanganan deportan semacam ini bisa dilakukan secara linier tanpa terganggu dengan sistem rotasi di lembaga yang menanganinya.

Termasuk juga soal regulasi dengan human rights. Syauqillah menuturkan bahwa perlu didiskusikan dengan semua stakeholders yang berkecimpung dalam persoalan human rights, yakni tema-tema apa saja yang berkaitan dengan Deportan.

“Maka perlu disepakati pedoman bersama, sehingga staf yang ada akan user friendly dalam penanganan tersebut,” tuturnya.

FGD yang merupakan bagian dari program aktualisasi diri bagi peserta didik Sespimti ini dihadiri langsung oleh Irjen Pol Eddy Hartono selaku pembimbing. Kemudian, Kepala Sentra Handayani Romal Uli Jaya Sinaga, akademisi sekaligus Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhamad Syauqillah, pengamat terorisme Sholahuddin, Muhammad Makmun Rasyid dari BPET MUI, serta jurnalis sekaligus pengamat terorisme Khoirul Anam.

Senada dengan Syauqillah, peneliti dan pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Solahudin juga menyebut bahwa penanggulangan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme, baik yang bergabung dengan ISIS maupun yang menjadi pekerja migran Indonesia di luar negeri, memerlukan instrumen yang user-friendly.

“Masalah kita itu, instrumen yang kita punya terlalu canggih sampai-sampai kita kesulitan menggunakannya,” kata Solahudin.

Solahudin
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Solahudin.

“Yang kita perlukan sekarang adalah instrumen yang user-friendly, yakni instrumen yang bisa digunakan oleh siapa saja. Kan kita maunya berhasil, ya gunakan instrumen yang mudah digunakan,” lanjut dia.

Sebelumnya, perwakilan dari Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 AT menyebut lima kategori yang biasa digunakan untuk mengelompok deport factor atau alasan seseorang menjadi deportan, yakni ; Ideologi (berangkat ke Suriah berdasarkan keinginan sendiri), faktor keluarga, korban propaganda (terpapar propaganda di dunia maya), WNI yang lahir di Suriah, WNI yang terjebak di sana (sedang sekolah atau bekerja di sana).

Masih dalam kesempatan yang sama, akademisi dan penulis buku Leebarty Taskarina menyebut perlu adanya pergeseran fokus dalam isu terorisme ke arah penanganan yang lebih humanis. Meskipun pergerakan kelompok teror tetap menjadi perhatian utama, kita juga harus memprioritaskan pendekatan kemanusiaan dalam penanganannya.

“Pendekatan ini mencakup perhatian khusus pada isu-isu sensitif seperti gender, yang seringkali menjadi aspek terabaikan dalam penanganan radikalisme,” ujarnya.

Di kesempatan ini pula, Irjen Pol Eddy Hartono selaku pembimbing dari Kombes Pol Didik Novi Rahmanto, menyebutkan bahwa FGD yang dilakukan dalam rangka aktualisasi diri oleh peserta didik Sespimti ini penting dilakukan untuk benar-benar mempersiapkan naskah akademik para peserta didik.

“Kita tentu ingin agar nastrap (naskah strategi perorangan) ini benar-benar memiliki daya analisis yang tajam sehingga bisa digunakan, tidak hanya berhenti sebagai karya tulis,” ujar dia saat memberi sambutan.

Irjen Pol Eddy Hartono
Irjen Pol Eddy Hartono saat memberikan sambutan dalam FGD yang diselenggarakan oleh Peserta Didik Sespimti, Kombes Pol Didik Novi Rahmanto.

Irjen Pol Eddy Hartono menambahkan bahwa tema “Strategi Penanggulangan Deportan Terpapar Radikalisme-Terorisme Guna Mengoptimalkan Penegakan Hukum Dalam Rangka Terwujudnya Keamanan Dalam Negeri” yang diangkat oleh Kombes Didik Novi Rahmanto juga sangat penting dan relevan, terutama karena Indonesia memang tengah menghadapi tantangan yang kompleks terkait penanganan deportan.

“Tetapi melihat para narasumber dan peserta yang hadir kali ini, saya yakin natrap ini akan matang dan mantap sekali,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!