Perempuan Fagogoru

waktu baca 4 menit
Minggu, 16 Jun 2024 10:49 0 11 Ilham Saputra

Penulis : Yana Mustika (Akademisi Universitas Pertiwi)

Dalam rentang kesejarahannya, perihal posisi atau peran publik perempuan sebagai seorang pemimpin politik, sebutlah selaku kepala negara, kepala daerah atau ketua partai politik, dll., adalah sesuatu yang lazim. Setidaknya di negeri ini.

Dinamika kehidupan demokrasi sejak beberapa dekade silam telah menempatkan para pemimpin perempuan di berbagai negara, atau setidaknya di berbagai daerah di Indonesia, dengan segala rekam jejak kepemimpinannya. Terurama dalam konteks kepemimpinan politik.

Sederet nama besar seperti Margaret Thatcher, Indira Gandhi, Benazir Bhutto, Angela Merkel, Megawati Sukarnoputri atau Halima Yacob, dst., yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu itu, menurut hemat saya, adalah preseden tentang betapa eksisnya perempuan pada level kepemimpinan politik.

Bahkan pada diskursus tentang praksis demokrasi itu pula, Amerika Serikat (AS) yang notabene dikenal sebagai “kiblat” atau corongnya demokrasi di dunia saat ini, belum berhasil menempatkan seorang perempuan sebagai kepala negaranya hingga saat ini sejak merdeka pada 1700-an. Baru dalam pemilu di AS periode sebelumnya, Hillary Clinton muncul sebagai salah satu kompetitor sebagai calon presiden, tapi gagal.

Hal tersebut jika dibandingkan dengan Indonesia, misalnya, dengan kadar atau kualitas demokrasinya yang, boleh diakui, masih jauh panggang dari api dengan kualitas demokrasi negara “kiblat” demokrasi (baca: AS) itu, tapi sejarah mencatat bahwa seorang perempuan bernama Megawati Sukarnoputri pernah didapuk dan diakui menjadi seorang presiden perempuan pertama RI. Meskipun ketika itu belum melalui mekanisme pemilu.

Berangkat dari kenyataan tersebut, menurut saya, ada yang penting untuk dicermati dalam dinamika kehidupan berdemokrasi kita sejauh ini. Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu elemen vital yang membentuk watak keberdemokrasian kita ialah nilai-nilai tradisi atau kearifan (local values) yang hidup dan dilakoni oleh masyarakat kita saat ini. Nilai-nilai sebagai basis filosofis, sosial, kultural, yang menjunjung tinggi hak setiap orang (perempuan dan laki-laki) untuk dipilih atau diamanahkan mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin publik.

Di Maluku Utara, sebagai misal, tepatnya di Halmahera Tengah, terdapat pula nilai-nilai kearifan yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat Fagogoru. Penyebutan fagogoru tersebut sekaligus sebagai sebutan bagi tatanan nilai-nilai kearifan itu sendiri. Sebagai insider (orang Moloku Kie Raha/Maluku Utara, tepatnya orang Tidore), saya hanya sekadar tau bahwa komunitas Fagogoru itu terdiri dari “tiga kampung/negeri” atau Pnu Pitel, yaitu: Were (Weda), Poton (Pattani) dan Mobon (Maba). Ketiga kampung ini oleh Kesultanan Tidore kemudian disebut: Gamrange.

Catatan sederhana ini tentu tidak saya maksudkan untuk menelaah secara filosofis mengenai Fagogoru. Tapi sebagai sebuah penanda tentang eksistensi nilai-nilai tradisi yang inklusif, terutama terkait peran atau posisi kepemimpinan perempuan, maka catatan ini hanya dimungkinkan untuk menyoroti perihal itu (baca: kepemimpinan politik perempuan).

Dari sekian perempuan Fagogoru dengan segala rekam jejak politiknya sejauh ini, saya hendak menyebut Nurhayati Rais (ayunda Yati) sebagai prototipe pemimpin politik perempuan Fagogoru yang representatif untuk dipertimbangkan menjadi salah satu figur perempuan yang layak dalam perhelatan kontestasi pilkada di Halmahera Tengah nanti.

Tentu, tanpa maksud dan upaya glorifikasi terhadap sosok perempuan yang saya sebutkan itu. Tapi dengan rekam jejak yang baik, visi memimpin yang futuristik, memiliki akar ke-fagogoru-an yang kuat, modal jaringan serta komunikasi politik yang mumpuni, saya sangat berkeyakinan jika beliau akan mampu membawa Kabupaten Halmahera Tengah jauh lebih baik.

Sebagai seorang perempuan Maluku Utara, dengan mencermati kenyataan bahwa sangat jarang sekali perempuan Maluku Utara yang muncul ke permukaan berkontestasi dari pemilu ke pemilu dan menang sebagai seorang gubernur, walikota atau bupati, maka bukan tanpa alasan penilaian obyektif saya terhadap perempuan Fagogoru seperti ayunda Yati adalah benar-benar berdasarkan faktor kesadaran saya.

Dari sekian pemimpin daerah di Maluku Utara hingga saat ini, baru di Kabupaten Kepulauan Sula yang secara demokratis melahirkan pemimpin daerah (bupati) perempuan. Saya berharap, semoga bermunculan lagi para bupati/wakil bupati, walikota/walikota atau gubernur/wakil gubernur perempuan lain di Maluku Utara pasca pilkada besok. Semoga!

#NR4Halteng

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

"Semua orang ingin dihargai, tapi banyak yang lupa untuk menghargai orang lain dulu." Hormat itu saling memberi, bukan cuma diminta.

"Orang bilang waktu adalah uang, tapi banyak yang menghabiskannya untuk hal sia-sia." Hargai waktumu, karena tidak ada toko yang menjual waktu tambahan.

"Kalau sibuk hitung rezeki orang, kapan sempat hitung bersyukur sendiri?" Rumput tetangga selalu hijau, tapi siapa tahu tanahnya beracun.

“Cinta yang dipenuhi alasan hanya bertahan sampai alasan itu hilang." Cinta yang sejati bertahan tanpa perlu dicari alasannya!.

"Orang suka menilai kebahagiaan dari luar, tapi lupa bahwa senyuman juga bisa dibuat-buat." Jangan iri pada apa yang terlihat, karena yang tak terlihat sering kali lebih nyata.

"Cinta yang dipenuhi alasan hanya bertahan sampai alasan itu hilang."Cinta yang sejati bertahan tanpa perlu dicari alasannya!

"Katanya teman sejati, tapi sinyalnya hilang pas kita butuh." Teman yang baik itu hadir, bukan cuma saat senang.

"Dia yang paling sibuk mengomentari, biasanya yang paling sedikit kontribusi" Pembenci akan terus bicara, meski kebaikanmu lebih nyaring dari suara mereka.

LAINNYA