“Intoleransi Agama adalah Momok Pemecah Belah Bangsa” : Krens Betekeneng (Ketua BEM FH UBK)
Melanesiatimes.com – Sikap intoleransi adalah kecenderungan untuk tidak menerima atau menghormati perbedaan atau pandangan yang berbeda. Melihat Indonesia yang merupakan negara yang kaya akan keragaman agama dan budaya, sangat di sayangkan bila di tengah keberagaman ini, masih terdapat kasus-kasus intoleransi agama yang terjadi di Indonesia. Intoleransi agama yang merupakan sikap atau perilaku diskriminatif yang dilakukan terhadap kelompok agama tertentu dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, penghinaan, diskriminasi hingga pengusiran dan pembubaran paksa.
Ironisnya dalam beberapa tahun terakhir kasus intoleransi agama di Indonesia semakin meningkat, dengan jenis kasus seperti pembubaran paksa disaat beribadah, sampai pelarangan Pembangunan tempat ibadah bagi kaum minoritas. Melihat semakin maraknya kasus intoleransi di Indonesia beberapa tahun ini, saya berpendapat bahwa negara kita tidak belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Kemudian, SIAPA YANG HARUS KITA SALAHKAN?
Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia” dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi” namun, ucapan tersebut selayaknya lips service yang hanya menunjukkan ketegasan normatif. Pada kenyataannya, tidak ada Langkah kongkrit dari pemerintah untuk menangani permasalahan ini. Dampaknya adalah praktik intoleran terus berkembang menjadikan intoleransi agama sebagai momok yang menakutkan bagi kaum minoritas.
Dengan demikian, untuk mengantisipasi dan sekaligus menanggulangi problematika kehidupan beragama dan demokrasi di Indonesia(konflik intoleransi), maka menurut hemat saya perlu langkah-langkah kongkrit yang harus di ambil dalam proses pengantisiasian dan penanggulangan permasalahan ini yaitu pertama: perlunya reorientasi pemahaman ajaran agama, dalam artian ajaran agama harus dipahami secara benar dan digali makna substansinya. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi sosiologis dan kosmologis. kedua, perlunya keberpihakan negara secara lebih serius, karna “Mengobati konflik yang berwajah agama sangat sulit dilakukan, karena konflik ini menimbulkan luka yang mendalam di masyarakat yang terlanda konflik” sehingga Pemerintah tidak bisa mentolerir segala bentuk intoleransi terhadap kebebasan beragama dan segala tindakan lainnya yang dapat memecabelah bangsa indonesia dan tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.
Tidak ada komentar