Memahami Kemenangan Prabowo Secara Kritis

waktu baca 3 menit
Minggu, 18 Feb 2024 07:39 0 8 Ilham Saputra

Oleh: Amin Mudzakkir (Peneliti BRIN

Sejujurnya sejak beberapa bulan lalu kita sudah tahu bahwa Prabowo akan memenangkan pemilihan. Bahkan kita tidak perlu melihat hasil survei untuk mengetahui itu. Berbagai aksi dan mobilisasi yang dilakukan oleh Jokowi sebagai presiden untuk memenangkan Prabowo adalah bukti yang cukup. Bahkan orang awam sekalipun paham bahwa tidak akan ada yang menang melawan kekuasaan negara. Di negeri ini kekuasaan negara sangat besar, ada di mana-mana, meliputi hampir semuanya.

Oleh karena itu, tesis negara lemah sama sekali keliru dan menipu. Kenyataannya negara amat sangat kuat. Sebaliknya, masyarakat sipil amat sangat lemah, bahkan kalau mengikuti definisi Cohen dan Arato (1995), mereka mungkin tidak pernah terbentuk di negeri ini. Yang ada di negeri ini adalah sekumpulan kelompok berbasis identitas yang kurang memiliki independensi di hadapan negara. Apa yang kemarin diributkan sebagai politik identitas pada dasarnya adalah politik identitas yang diciptakan oleh negara.

Bertolak dari tesis negara yang amat sangat kuat, bukan hal yang sulit bagi Jokowi sebagai presiden untuk memenangkan Prabowo. Jokowi mempunyai semua sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan itu, termasuk mengkondisikan persepsi publik terhadap Prabowo. Di tingkat atas Jokowi menjerat para elit dengan dilema hukum, sedangkan di tingkat bawah dia mempersuasi atau mengintimidasi rakyat kecil dengan bantuan sosial. Atas dan bawah dikonsolidasikan agar meraih suara elektoral yang 50 % + 1 di 20 provinsi–angka yang berhasil dicapai secara sempurna pada 14 Februari tiga hari lalu.

Di atas semuanya, Jokowi berpikir seperti umumnya rakyat Indonesia berpikir. Persis pada titik ini skeptisisme Plato terhadap demokrasi menemukan pembenarannya. Dengan argumen dari awal abad ke-18 yang problematik, vox populi vox dei, Jokowi sangat paham bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat bukan pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat sebagaimana dipikirkan oleh kelas menengah terdidik, melainkan kebaikan hati penguasa dalam imajinasi feodal. Faktanya, melihat komposisi demografis rakyat kita berdasarkan tingkat ekonomi dan pendidikan, negeri kita masih berada pada tahap feodal. Di negeri ini demokrasi dan feodalisme berkelindan.

Di negara yang seolah-olah demokratis tetapi feodal posisi dan peran kelas menengah terdidik yang populer disebut kaum intelektual tentu amat sangat lemah. Mereka adalah prekariat. Mereka tergantung pada dua kekuatan yang menopangnya: negara dan orang kaya. Masalahnya dua kekuatan itu sekarang sama-sama berada dalam kendali Jokowi. Semuanya dikerahkan, sekali lagi, untuk memenangkan pasangan 02: Prabowo-Gibran.

Dengan demikian pula, pandangan yang mengatakan bahwa kaum intelektual adalah kaum yang sombong–sehingga suaranya tidak lagi didengar oleh rakyat–adalah pandangan yang salah kaprah. Intelektual kita adalah para PNS yang sesak nafas dihantui ancaman pemotongan tukin kalau tidak mempublikasi tulisannya di jurnal terindeks Scopus, jadi bagaimana bisa sombong? Di sisi lain, para intelektual yang menggantungkan kebutuhan hidup kesehariannya dari derma orang kaya hanya bisa menunggu-nunggu dalam cemas siapa nanti yang akan menang–biar bisa bergabung tepat waktu dengan memberi legitimasi bahwa pemilu kali ini baik-baik saja dan demokrasi Indonesia masih kuat dan bahkan lebih kuat daripada sebelumnya.

Tentu saja Jokowi mampu mengendalikan semua proses itu melalui suatu latihan berkuasa yang amat sangat mengagumkan, kalau bukan Machiavellian. Sejak berhasil menggulung kekuatan Islam politik pasca aksi-212, Jokowi secara otomatis adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang riil di negeri ini. Tidak ada lagi oposisi kemasyarakatan yang signifikan, apalagi sejak 2019 Prabowo bergabung dalam pemerintahan. Kelompok kritis dari kalangan nasionalis abangan terlambat menyadari ini, sehingga suara Ganjar-Mahfud jeblok tidak tertolong. Sementara itu kalangan NU sudah sejak awal terbelenggu narasi anti-Wahabi, sehingga secara psikologis mudah sekali bagi Jokowi untuk mencegah mereka memilih pasangan calon presiden-wakil presiden yang ada PKS-nya. Para politisi PKB tidak mempunyai cukup waktu menghapus narasi yang sudah menebal dalam benak itu, sehingga dukungan warga NU terhadap Muhaimin Iskandar tidak signifikan. Jokowi memahami permainan algoritma kultural ini dan menggunakannya secara maksimal–dan menang.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

"Semua orang ingin dihargai, tapi banyak yang lupa untuk menghargai orang lain dulu." Hormat itu saling memberi, bukan cuma diminta.

"Orang bilang waktu adalah uang, tapi banyak yang menghabiskannya untuk hal sia-sia." Hargai waktumu, karena tidak ada toko yang menjual waktu tambahan.

"Kalau sibuk hitung rezeki orang, kapan sempat hitung bersyukur sendiri?" Rumput tetangga selalu hijau, tapi siapa tahu tanahnya beracun.

“Cinta yang dipenuhi alasan hanya bertahan sampai alasan itu hilang." Cinta yang sejati bertahan tanpa perlu dicari alasannya!.

"Orang suka menilai kebahagiaan dari luar, tapi lupa bahwa senyuman juga bisa dibuat-buat." Jangan iri pada apa yang terlihat, karena yang tak terlihat sering kali lebih nyata.

"Cinta yang dipenuhi alasan hanya bertahan sampai alasan itu hilang."Cinta yang sejati bertahan tanpa perlu dicari alasannya!

"Katanya teman sejati, tapi sinyalnya hilang pas kita butuh." Teman yang baik itu hadir, bukan cuma saat senang.

"Dia yang paling sibuk mengomentari, biasanya yang paling sedikit kontribusi" Pembenci akan terus bicara, meski kebaikanmu lebih nyaring dari suara mereka.

LAINNYA