Oleh: Hamis Souwakil (Aktivis Pemerhati Hukum Indonesia)
Banyak pihak secara substansi terjebak dengan penyataan presiden Jokowi kepada awak media di Bandara Udara Halim Perdanakusuma tentang keberpihakan dan kebolehan Presiden dan Mentri atau Pejabat dibawahnya dalam melakukan kampanye atau mengeksperikan hak politiknya.
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang, setiap Mentri sama saja. Yang paling penting Presiden itu loh boleh Kampanye, Presiden itu boleh loh memihak, boleh. Tapi yang paling penting waktu Kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Kita ini pejabat public sekaligus pejabat politik. Masa gini ngk boleh berpolitik, Mentri juga boleh,”. Tutur Jokowi, (24/1).
Jika secara substansi, pernyataan Jokowi di atas tidak ditemukan kesalahan hukum atau bahkan melenggar ketentuan perundang-undangan. Pernyataan Jokowi ini adalah bersifat afirmasi atas pertanyaan awak media tentang sikap politik pejabat.
Pernyataan Jokowi “termaktub” berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang memberikan peluang kepada Presiden dan Wakil Presiden untuk dapat mengekpresikan hak politiknya. Kebolehan Presiden dalam menjalankan hak politiknya dalam bentuk kampanye diamanatkan dalam pasal 299 ayat 1 “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye”. Secara hukum yang disampaikan Jokowi adalah hal yang sifatnya normatif yang tidak perlu membutuhkan banyak waktu untuk diperdebatkan sampai menghilangkan substansi dari kampanye; memberikan Pendidikan Politik Masyarakat.
Begitupun dengan pernyataan Jokowi tentang keberpihakan politik dari pejabat di level Mentri pun merupakan hal normatif karena telah berkesesuaian dengan amanat UU. Terhadap Mentri yang berstatus sebagai anggota partai memiliki hak untuk menjalankan kampanye dan yang tidak berstatus sebagai anggota partai tinggal diidentifikasi apakah yang bersangkutan telah berkesesuaian dengan amanat ayat (3) ataukah tidak . Hal normatif tidak perlu dipermasalahkan secara meluas apalagi membias sampai pada menciptakan polemik terhadap keberlangsungan prosesi politik nasional.
“Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye,”. Bunyi Ayat 2 Pasal 299.
“Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan sebagai; (a) calon Presiden atau calon Wakil Presiden, (b) anggota tim kampanye yang suda didaftarkan ke KPU atau (c) pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU,”. Bunyi ayat 3 pasal 299.
Sepanjang memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara, maka hal demikian tidak menjadi masalah dalam konteks hukum. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 300. Di sisi lain, banyak pihak kemudian mencoba menghubungkan secara politik tampilan beberapa Mentri yang muncul dalam tangkapan camera seusai debat Capres-Cawapres di tanggal 7 dan 21 Januari lalu. Disampaikan bahwa hal ini merupakan pelanggaran karena telah secara langsung berpihak kepada paslon tertentu. Sekali lagi, bahwa secara hukumnya tidak menjadi soal. Bila kita cermati substansi debat ini diselenggarakan dalam waktu libur dan secara UU Pemilu kita memperbolehkan hal demikian.
“hari libur adalah hari bebas untuk melakukan Kampanye di luar ketentuan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2),”. Bunyi Pasal 303 Ayat (3).
Penyampaian narasi publik harus secara teliti dan adil karena dalam momentum yang diselenggarakan lima tahun sekali ini merupakan opportunity masyarakat dalam memperoleh Pendidikan Poltik dari setiap peserta pemilu. Dalam substansi Pendidikan Politik Masyarakat, setiap fenomena politik yang secara normatif diperkenangkan oleh ketentuan perundang-undangan jangan diresonansi dengan kepentingan politik yang sarat dengan adu domba dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Fenomena politik Bandar Udara Halim Perdanakusuma ini dimaklumi secara etik. Bahwa sesungguhnya seorang Presiden tidak diperkenangkan menyampaikan pernyataan demikian karena akan berpotensi pada substansi politik yang jauh lebih bermuara pada perdebatan kusir dan kegaduhan politik.
Namun, di sisi lain Presiden patut melakuan itu sebagai bagian dari mencerdaskan masyarakat secara politik untuk transformasi Bahasa UU Pemilu sampai pada benak rakyat. Presiden jangan dibatasi dalam ruang mencerdaskan bangsa karena itu adalah bagian dari tuntutan sistem presidencial, Konstitusi pun menghendaki.
Pernyataan Jokowi sebagai Presiden yang dinilai bermasalah secara etik ini sebetulnya adalah masalah filsafat yang seharusnya diselesaikan dalam pembahasan pembentukan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu silam. Bukan saat menjalankan amanat UU, hal demikian menunjukan kecacatan dalam memahami cara hukum itu bekerja.
Permasalahan kita dalam menjalankan hukum sebagai bagian dari negara hukum adalah sering kali masalah hukum dikaitkan dengan politik praktis yang sarat kepentingan kelompok sehingga yang terlihat adalah tafsiran hukum yang bias kepada ruang-ruang kebingungan. Tumbal dari misunderstanding ini adalah rakyat; Rakyat selalu menjadi santapan empuk dari semua persoalan kepentingan politik praktis elit.
Anehnya, yang mempermasalahkan persoalan ini adalah kelompok yang juga ikut berperan dalam pembahasan UU No. 7 Tahun 2017 ini. Secara hakikatnya, mereka mengetahui bahwa persoalan ini adalah final tetapi karena dibaluti dengan kepentingan ingin berkuasa dan mengambil alih kekuasaan maka secara sadar dan rela kegaduhan ini diciptakan untuk memperoleh empati rakyat dalam membantu menciptakan kekuatan politik dan memuluskan semua siasat politik kepentingan yang sudah diatur secara sistematis dan terstruktur.
Tidak ada komentar