Di Pusat, PKS Lawan Politik Dinasti, Di Daerah: PKS Merawat Politik Dinasti : Hamis Souwakil
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai oposisi yang sampai detik ini, sejak periode pertama Jokowi sampai dua periode sebagai presiden, tetap memilih bersebrang politik dengan partai-partai pendukung. Partai yang dipimpin Ustadz Ahmad Syaikhu ini terlihat memiliki sikap politik (mawafiq siyasi) dan optimis sebagai oposisi dalam mengawal aspirasi rakyat.
Membangun pertahanan politik oposisi di pusat, partai penggagas hastag #2019GantiPresiden di pilpres tahun lalu ini, terlihat konsisten dan terstruktur. PKS terlihat aktif dalam pengambilan setiap kebijakan oleh pemerintah pusat. Sikap politik ini tentu sangat diharapkan agar setiap kepentingan rakyat dapat diaktualisasikan oleh perwakilan rakyat dari PKS di parlemen Senayan.
Terlebihnya, janji-janji politik yang digaungkan PKS saat Pileg 2019 lalu. Janji-janji yang sampai saat ini masih menjadi wacana, entah karena keterbatasan kekuatan politik dan dukungan suara politik di parlemen sehinga mempengaruhi suara partai belum terdengarkan atau bahkan lainnya. Namun, bagi rakyat, PKS adalah partai yang selalu menggaungkan kata umat dan perjuangan atas derita umat. Maka, janji tersebut telah menjadi keharusan PKS untuk diperjuangkan dan direalisasikan.
Mawafiq Siyasi PKS Tidak Menyeluruh
Secara sadar kita menyadari bahwa sikap politik PKS di Parlemen Senayan dalam mengawal pemerintah amat sangat terlihat, hal tersebut dapat dilihat dari para delegasinya yang selalu hadir dengan narasi-narasi kritis dalam menanggapi kebijakan politik pemerintah. Namun, mawafiq siyasi tersebut sangat disayangkan karena tidak berlaku secara menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Hal ini, beranjak dari beberapa daerah dimana PKS lebih memilih berkolaborasi dengan partai penguasa dalam kepentingan politik kekuasaan. Pada bagian ini, spesifikasi daerah yang diangkat adalah daerah asal penulis; Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku.
Awalnya, saya mengira Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan selalu menjadi rival politik PKS. Kedua partai ini, entah kapan akan menuai titik akhir dan memulai misi perjuangan bersama. Hal ini, bahkan menimbulkan rasa penasaran dalam benak rakyat Indonesia. Rakyat ingin merasakan bagaimana karya yang akan dipertunjukan dari hasil kolaborasi kedua partai tersebut. Tentu hal itu akan menjadi something curious. Tapi, hal itu, dijawab sedikit dengan kolaborasi kepentingan politik PKS dan PDIP di Kabupaten Buru Selatan (Bursel). Kiranya, saya sedikit mendapat tontonan kolaborasi dari kedua partai tersebut.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa, sikap politik PKS di pusat terlihat arah geraknya. Namun, di daerah Bursel PKS terlihat kehilangan mawafiq siyasi-nya. Entah ini dipengaruhi status PKS sebagai partai simpatisan (pendukung) atau dampak dari tidak adanya delegasi PKS di Parlemen Bursel.
Hal demikian, saya kira tidak menjadi alasan untuk menghindari tidak adanya suara dan perjuangan PKS dalam mengawal proses jalannya pemerintahan daerah dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena PKS berbeda dengan partai lain dan LSM-LSM yang dibentuk untuk kepentingan taktis dan praktis.
Pilkada Bursel, PKS Hadir dengan ‘Kepentingan Umat
Saat ditanyai tentang mangapa PKS lebih memilih mendukung calon yang dianggap cenderung membangun fondasi kekuasan politik dinasti dan saling bekap dari dugaan korupsi. Mereka menjawab bahwa perjuangan tersebut adalah untuk rakyat. Sebelumnya, kolaborasi politik ini sungguh membuat masyarakat bingung dengan sikap politik PKS kali ini, pasalnya selama dua kali pilkada yang melahirkan Tagop Sudarsono Soulissa (matan Bupati Bursel) yang berkuasa selama dua periode, PKS selalu memilih berlawanan arah politik. Namun, kali ini, usai kekuasan Tagop Sudarsono Soulissa sebagai bupati, PKS memilih melebur dan berkolaborasi dengan istri Tagop Sudarsono Soulissa, Safitri Malik dalam perhelatan politik pilkada di tahun 2020 lalu.
Pilkada 2020 menghasilkan Safitri Malik terpilih menjadi bupati kabupaten yang bertajub Lolik Lalen Fedak Fena tersebut sebagai perpanjangan kekuasan dari suami, Tagop Sudarsono Soulissa. Hal ini, secara politik tidak menjadi soal, bila sikap PKS demikian diarahkan. Namun, yang diharapkan dari kolaborasi tersebut adalah PKS dapat mengawal proses pemerintah berjalan dengan baik dan dapat menyodorkan solusi pembangunan yang dapat memperbaharui situasi sosial dan pemerintahan sebelumnya.
Hasil menunjukan sama, tidak ada perubahan dan nampaknya tidak ada proses pengawalan dari PKS terhadap jalannya pemerintahan Kabupaten Buru Selatan. Padahal, secara nasional PKS adalah salah satu partai yang amat sangat konstruktif dalam membangun opini dan menyodorkannya sebagai konsep pembaharu.
Disini, PKS terlihat hilang dari satu aspek yang selalu mendongkraknya menjadi partai pemenang pemilu yakni; hearig society. Mendengar apa kata rakyat sudah tidak lagi digunakan PKS untuk menjadikannya konsep tawaran perubahan sebagai indikator kemajuan daerah.
Hal ini, pun menjadi sebab terjadinya kekosongan kursi “Jatah PKS” di Parlemen Bursel. PKS Bursel telah menghilangkan identitas politik PKS yang menjadi kekuatan dalam memberi keseimbangan politik nasional.
Berkolaborasi untuk Membesarkan Partai
Satu dugaan dari keberpihakan sikap politik PKS di Pilkada Bursel lalu adalah untuk menyelamatkan partai dan membesarkan partai di Buru Selatan menjelang Pileg 2024. Hal ini, terlihat sebagaimana keberpihakan PKS dari keluhan rakyat atas sistem yang dibangun selama dua peridoe oleh Tagop Sudarsono Soulissa yang kemudian dilanjutkan kembali oleh istrinya.
Sebelumnya, di awal telah diberitahukan bahwa PKS adalah partai pendukung dan partai yang tidak memiliki delegasi di Parlemen Kilo, sehingga memilih berkolaborasi dengan partai penguasa (PDIP) tanpa menggunakan sistem hearing society. Disini dapat kita duga apa maksud kolaborasi tersebut tanpa memandang perlu aspirasi rakyat itu?
Tentu, secara politik orang akan menduganya sebagai langkah upaya kaders PKS untuk menghidupkan kembali partainya di daerah yang dipimpin bupati perempuan peratama di Maluku ini. Sebagaimana diketahui, untuk menang politik tentu membutuhkan kekuatan politik besar. Bersandar kepada kekuasaan, mungkin saja dibaca oleh PKS sebagai peluang untuk membesarkan partai.
Namun, amat disayangkan bila hal tersebut hanya dibaca sebagai peluang untuk membesarkan partai politik, lalu menyampingkan kepentingan umat selama lima tahun berlangsungnya pemerintahan. Dan hilang pengontrolan dari janji pemimpin 100 hari kerja dan lainnya.
Kekuasaan Politik Tidak Selalu Soal Uang dan Bekapan
Andai kata dugaan kolaborasi PKS adalah betul untuk membesarkan partai semata, maka amat pula disayangkan PKS dalam membangun sistem perpolitikan yang tidak berbasis pendidikan di Kabupaten Buru Selatan. Kader PKS lebih mengetahui konteks “tahawwul wat taghayyur” dalam kerangka membangun politik berbasis pendidikan sebab hal ini selalu diajarkan dalam majelis yang dibentuk PKS.
Bisa kita cermati pada aplikasi politik PKS yang terjadi di pusat. Bahwa yang diaplikasikan adalah proses transformasi kesadaran politik dalam kerangka pembaharuan sistem yang dipimpin oleh pemimpin yang dianggap gagal dalam memajukan negara. Sehingga, lewat kontestasi tersebut PKS mencoba menggiring isu pembaharu tentang #2019GantiPresiden. Selain dari memantik perhatian publik, hal tersebut juga secara sadar memberikan pelajaran baik kepada rakyat tentang politik yang bersih dari money politic.
Dari sedikit gambaran di atas ketika di-combaine-kan dengan aplikasi politik PKS di Buru Selatan, saya kira PKS telah jauh dari budaya politik pendidikannya dan sedikit berbau politik komercial. Sehingga, kepentingan umat yang digaungkan amat sangat disayangkan karena telah mengalami transformasi menjadi komoditi, dan sungguh hal ini baru terjadi dalam sistem perpolitikan PKS.
Semoga amatan ini bisa menjadi bacaan Presiden PKS dan ketua DPW Maluku untuk dapat menjadi perenungan dalam memperbaiki sikap politik partai dalam perpolitikan Indonesia yang cenderung berpihak pada urusan rakyat dan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar