Oleh : Irwan. S (Penulis adalah Rakyat Biasa, Tinggal di Jakarta)
Melanesiatimes.com – Peristiwa Rempang yang tengah viral terjadi di Rempang Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau menyita perhatian publik. Bukan hanya karena persoalan hajat pemerintah dan salahsatu korporasi dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City, yang konon bernilai 381 triliun rupiah. Proyek yang juga tersiar memasukkan Xinyi Group, sebuah group investor dari China dan menyeret nama perusahaan PT MEG yang dikaitkan dengan seorang pengusaha Indonesia yang akan berdiri diatas lahan konsesi seluas 17 ribu hektar.
Video dan foto yang berisikan konflik horizontal antara masyarakat yang telah menempati lahan terdampak proyek tersebut dengan pihak aparat keamanan beredar luas. Tak ayal, hal tersebut membuat tak sedikit pejabat negara menanggapi peristiwa itu. Tapi dari sekian banyak komentar, hampir seluruhnya justru memposisikan diri membela rencana mega proyek tersebut, dengan dalih hak penggunaan lahan yang telah diberikan oleh pemerintah, sebagai pihak yang mengaku ‘memiliki’ lahan tersebut, kepada perusahaan tertentu sejak 2001-2004 lalu.
Para aktivis hak asasi manusia terdiam, partai politik yang biasanya memanfaatkan peristiwa2 serupa sebagai panggung akrobat pencitraan, LSM-LSM dan sejenisnya juga mendadak bisu. Bahkan para pihak yang mengaku pegiat oposisi muncul di medsos dengan hanya sekedar menyebarkan video dan foto peristiwa bentrok antara rakyat dan aparat. Tidak ada tulisan apalagi statemen keras terhadap perilaku aparat keamanan dalam menangani konflik tersebut.
Teringat penulis kepada almarhum Gus Dur. Seorang aktivis pro demokrasi yang kemudian menjadi Presiden RI keempat. Jika saja masih ada, Gus Dur pasti akan mengutuk keras peristiwa konflik Rempang. Gus Dur adalah seorang humanis tulen yang otentik. Yang tidak menyandarkan keberpihakannya terhadap hak asasi manusia karena kebutuhan politik jangka pendek bertajuk pencitraan. Sebagai seorang panutan, ia berani memposisikan dirinya berdiri melawan arus deras ketidakadilan. Pendeknya, jika Gus Dur masih ada, ia pasti bicara. Ia pasti melawan.
Ironisnya, orang-orang yang selama ini mengaku pengagum Gus Dur, bersikap datar dan normatif dalam menanggapi peristiwa Rempang. Malahan ada dari mereka yang terkesan “menyalahkan” tindakan rakyat demonstran dan membela mutlak pemerintah.
Kepada mereka, penulis perlu bertanya, “Are You Gus Durian Or Not?” Bukankah Gus Dur tidak pernah bersikap datar dan normatif jika menyangkut ketidakadilan? Bukankah ia selalu mengharamkan sikap membela statusquo jika berurusan dengan hak asasi manusia?
Penulis sampai tulisan ini dibuat, belum menemukan argumentasi berlawanan terhadap pernyataan pemerintah soal hak kepemilikan lahan oleh negara yang kemudian konsesi penggunaannya diberikan kepada korporasi atas nama investasi. Mengutip perkataan Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa sejatinya negara tidak memiliki tanah, tetapi hanya menguasai tanah, maka dalam kasus Rempang perlu pula kita pertanyakan, dari mana asal kepemilikan negara atas tanah Rempang. Disebut memiliki jika objek hukum diperoleh melalui cara-cara yang sah dan legal, dibeli, memperoleh hibah atau mendapatkan hak waqaf. Jika ketiganya tidak ditempuh, maka yang terjadi adalah praktik penguasaan tanah lewat okupasi.
Nah, dalam hal tanah Rempang, negara harus menjelaskan asal usul kepemilikan mereka. Jika sekedar klaim yang diperkuat oleh pendekatan kekuasaan yang bersifat memaksa dn okupasi, maka secara hukum, negara bukanlah pemilik tanah tersebut. Dan jika bukan pemiliknya, maka negara tidak berhak memberikan konsesi penggunaan tanah kepada pihak manapun, atas nama apapun. Tidak karena negara memiliki kekuatan memaksa maka serta merta negara bisa berdiri diatas hukum, apalagi jika hanya berdiri diatas statemen menanantang “jangan ganggu investasi”. Toh, kepentingan terhadap keadilan rakyat banyak lebih utama ketimbang pertimbangan investasi?
Kembali ke Gus Dur, Bung Karno pernah bilang, “warisi apinya, bukan abunya”. Kepada para pendukung Gus Dur, penulis harus berkata “warisi semangatnya, bukan sekedar namanya”. Jika mereka lantang bukan kepalang jika bicara toleransi dan pluralisme, kenapa mereka tidak garang soal tindakan represif aparat keamanan terhadap rakyat Rempang dan mau sedikit berlelah untuk mencari tahu siapa sesungguhnya pemilik sah tanah Rempang. Jika mereka tak suka tindakan radikal, bukankan seharusnya mereka bereaksi terhadap nasib rakyat Rempang yang diperlakukan tidak manusiawi?
Gus Dur, jika saja ia masih ada pasti ia akan turun langsung membela mereka yang dianiaya. Mungkin jika ia melihat sikap orang-orang ya selama ini menjual namanya tapi terdiam melihat ketidakadilan di Rempang, ia akan menangis sedih. Gus Dur adalah pemberani, senilai emas murni. Bukan besi karat yang disepuh agar terlihat seakan-akan emas. Tabik.