Melanesiatimes.com – Kapital Partikelir masuk ke Indonesia dan mendirikan pabrik gula, perkebunan teh dan tembakau. Mereka mendatangkan pula manajer-manajer untuk mengelola perusahaan; Cara pengerukan baru yang memperkaya Capital Partikelir, maka Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Tanaman Tebu De Waal di terapkan Kolonial Belanda pada Tahun 1870.
Baca juga : Pemda NTT Terima Kunjungan Delegasi Republik Demokratik Timor Leste
Praktek Cultuurstelsel / Sistem Tanam Paksa berjalan bersamaan dengan perusahaan-perusahaan Swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia Belanda di bidang perkebunan. Gula mentah yang diekstrak dari tebu oleh pabrik-pabrik gula dikirim ke Belanda untuk dirafinasi dan dipasarkan. Akibat praktik ini Bumiputera khususnya Jawa terkungkung kemiskinan, sementara ekonomi Belanda semakin berkembang.
“Telah maju selangkah lagi lah kita di atasi jalan yang menuju kepada realisasi Amanat Penderitaan Rakyat; Ya, Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan..!! Tanah untuk Tani..!! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap Tanah..!!! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap Tanah itu.” Jarek 1960, Soekarno.
Baca juga : Ikut Panen Tebu, Puan Dukung PG Sindanglaut Kembali Dibuka Demi Kemandirian Gula
Undang-Undang No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil; menegaskan hak dan kewajiban Penggarap dan Pemilik Tanah, artinya tanah yang dikelola bisa bermanfaat untuk semua dan tidak terjadi praktek Penghisapan dan ketidakadilan atau praktek Cultuurstelsel warisan Kolonial.
Kemitraan Tanam Tebu yang di duga Dipraktekkan salah satu BUMN di Negeri ini patut kita Plototi dan Preteli, jangan sampai Tanah untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap Tanah itu.
Baca juga : Trans Maluku Dibangun untuk Pemerataan dan Keadilan Sosial
Pikir Ku perlu membahas Tiga hal Dasar dalam memahami Praktek Kerjasama Kemitraan Tebu tersebut;
1. Objek Tanah yang Dikerjasamakan, Penggarap diwajibkan membayar Uang Sewa kisaran Rp. 2.000.000 – 4.000.000/Tahun. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, menjelaskan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, yang digunakan untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan; artinya HGU harus dikelola sendiri, tidak boleh di pindah tangankan apalagi disewakan sebagai atau digunakan sebagai alat Penghisapan.
2. Kerjasama Bagi Hasil yang Berkeadilan, artinya harus Jelas dan Transparan dalam MOU di mana hak dan kewajiban antara Penggarap dan Pabrik Gula; Penentuan Rendemen, Bagi Untung dll. Jangan sampai terjadi Monopoli Informasi / Ngendang Dewek Ngecrek Dewek, penggarap harus menjadi Subjek Kesejahteraan bukan menjadi Subjek Penghisapan; misal Praktek Fee untuk Birokrasi yang di ambil dari hasil Petani / Penggarap.
Baca juga : Berkolabasi Peningkatan Kesejahteraan Petani Kelapa di Halmahera Barat
3. Penentuan Harga Jual Tebu, Biaya pengolahan Lahan dan Harga Bibit sepihak, praktek murahnya harga jual Tebu Giling di duga terjadi, Misal Petani tebu kabupaten Malang menjual kisaran Rp. 7.000 – 7.600/Kg, sedangkan di Indramayu hanya dihargai Rp. 5.400/Kg, kemudian Pengolahan Lahan yang tidak sesuai perjanjian seperti Harusnya 3 kali (bajak 1,2 dan kair) cuma membajak dua kali dengan biaya yang sama. Begitu juga harga bibit Tebu yang di tentukan Pengelola Kemitraan kisaran Rp. 11.000 – 12.000/Kg, sedangkan bibit dengan jenis dan Kwalitas yang sama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya kisaran Rp. 8.500 – 9.500/Kg.
4. Manipulasi Dana Kredit Usaha Rakyat ( KUR); pada dasarnya uang yang dipake menanam tebu, adalah uang petani dari realisasi KUR sejumlah dan PG hanyalah sebagai APALIS mengingat petani tidak tergolong masyarakat yang bankable sehingga memerlukan penjamin, harusnya petani sebagai pemilik uang mengetahui secara pasti berapa mereka hutang dan berapa uang yang dia gunakan untuk biaya tanam tebu, faktanya mereka tidak Berdaulat mengelola uangnya sendiri bahkan di duga dimanipulasi oleh oknum Bumdes, Ketua Kelompok dan Pegawai PG.
Patut di Duga praktek Penghisapan kepada Penggarap/Petani Tebu dilakukan secara Terstruktur dan Masif melibatkan Birokrasi, Petinggi PG dan pihak Kepentingan lainnya; semoga masyarakat Paham dan APH segera turun tangan.
Carkaya
Ketua Dewan Pembina Forum Penggarap Pelopor Sejahtera ( FORGAPORA )
Tidak ada komentar