Kitab Kuning : Selayang Pandang Seorang Perintis Kemerdekaan

Gambar Kitab Kuning dan AM. Sangadji (Pahlawan Perintis Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Melanesiatimes.com – Menyebut “kitab kuning”, sebagian orang, terutama kalangan santri atau ahli gramatika dalam bahasa Arab akan mengidentikkannya dengan kitab-kitab (bebukuan) karya para ulama terdahulu.

Bacaan Lainnya

Setidaknya, beberapa teks dari kitab tersebut yang pernah saya jumpai adalah teks yang kerap disebut teks atau aksara “Arab gundul”. Bahasa, wabilkhusus bahasa Arab, memang agak unik dan njelimet secara gramatikal.

Baidewei perihal kitab kuning yang saya maksudkan di sini ialah sebuah karya biografi tentang seorang perintis dan pelopor pergerakan kebangsaan bernama Abdoel Moethalib Sangadji. Karya biografi ini ditulis oleh Sam Habib Mony–kami akrab menyapa beliau dengan sapaan: Bapa Sam–seorang penulis dari negeri Nusa Ina, Kepulauan Maluku.

Bang Mil Mony, founder sekaligus direktur eksekutif Abdoel Moethalib Sangadji Institute (AMS Institute), pernah menuturkan bahwa sekira tahun 2016 silam, pada sebuah acara Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW KAHMI) provinsi Maluku di Ambon, Prof. Mahfud MD ketika itu hadir selaku koordinator Majelis Nasional (MN) KAHMI, pernah mengatakan menyangkut sangkaan beliau kalau mendiang A.M. Sangadji justru sudah resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional. Pernyataan itu beliau sampaikan setelah menerima karya biografi tentang A.M. Sangadji tersebut secara resmi.

Ketika itu, di saat bersamaan, oleh pihak KAHMI dan seluruh elemen dan kader HMI sedang gencar-gencarnya mengkonsolidirkan gelar pahlawan nasional kepada sang pendiri HMI, mendiang Prof. Lafran Pane.

Tak lama kemudian, selang beberapa waktu pasca pertemuan konsolidatif tersebut, gelar pahlawan nasional pun secara resmi dianugerahkan kepada mendiang Prof. Lafran Pane.

Tentu ada bangga bercampur haru yang begitu meng-“hijau hitam putih” sebagai bagian dari keluarga besar HMI ketika mendengar pilihan Presiden Joko Widodo jatuh kepada Prof. Lafran Pane sebagai salah satu pahlawan nasional.

Tapi pula sempat terbersit sesuatu yang musykil dalam  perasaan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini sebagai sesama anak negeri, terlepas dari “persangkaan” spontan Prof. Mahfud tentang status mendiang A.M. Sangadji ketika itu, bahwa negara justru seolah tidak hadir membijaki persoalan ini.

Bukan sekadar karena mendiang Prof. Lafran  Pane, atau justru Leimena, Latuharhary, Latumenten, dll., beberapa nama pahlawan nasional dari Maluku yang telah lebih duluan dianugerahi gelar itu. Tapi, baik mendiang Prof. Lafran Pane maupun ketiga nama tokoh pahlawan yang saya sebutkan sebelumnya, yang secara era dan konteks perjuangan kebangsaannya dapat ditelusuri justru setelah era kepeloporan sang “Jago Toea” A.M. Sangadji, karib Bapak Bangsa HOS. Tjokroaminoto dan cendekiawan poliglot dari ranah Minang, Toan Agoes Salim.

Tiga orang yang kerap disebut-sebut sebagai “Tiga serangkai” Sarekat Islam (SI) pada saat itu: Said, Salim, Sangadji.

Mestinya, menyiasati kemusykilan hidup berkebangsaan seperti ini, yang dibutuhkan tentunya adalah kehadiran negara melalui political will-nya demi memenuhi rasa keadilan berbangsa dan bernegara itu sendiri.

Sebab, ketika secara kolektif, kita justru selalu berangkat dari sebuah “dalil” bahwa: “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Lantas kebijakan seperti apa sebagai sikap tegas negara yang kita sebut bersama sebagai penghargaan itu terhadap salah seorang perintis dan pelopor kemerdekaan bangsa ini seperti mendiang A.M. Sangadji itu?

Sejujurnya ini adalah sebuah “pekerjaan rumah” negara yang belum selesai. Bahkan ketika negara membutuhkan, sebutlah, contekan referensi, maka kitab kuning yang pernah disentil oleh Prof. Mahfud MD itu bisa menjadi salah satu dari sekian banyak rujukan referensi tentang jejak kepeloporan perjuangan kebangsaan mendiang A.M. Sangadji.

Salam Indonesia Merdeka. Indonesia Tanah Air Beta!

____

“Kitab Kuning” atau buku biografi “A.M.Sangadji: Menuju Indonesia Merdeka” karya Bapa Sam dengan pengantar oleh para pimpinan daerah provinsi Maluku (Ir. Said Assegaf selaku Gubernur Maluku ketika itu dan Edwin Adrian Huwae, SH, selaku pimpinan DPRD Provinsi Maluku) serta sambutan dari kedua cendekiawan asal Maluku (Prof. Drs. J. A. Pattykaihatu dari Universitas Pattimura dan DR. Abidin Wakano, M.Ag dari IAIN ambon) ini adalah salah satu karya yang mengulas tentang sang “Jago Toea” yang boleh diakui komprehensif untuk dijadikan referensi terkait diskursus kebangsaan.

Pos terkait