Penulis : Moehar Sjahdi
Sebuah kota pelabuhan di jantung Pulau Kei Besar, Kepulauan Kei, Maluku. Boleh jadi jalur ini juga yang pernah dilewati seorang naturalis bernama Alfred Russel Wallace (1823-1913) untuk beberapa penemuan pentingnya tentang species makhluk hidup (flora dan fauna). Sebelum akhirnya bertolak ke Aru dan Ternate (Halmahera).
Sebuah tempat berjumpanya beragam suku/etnis, agama, bahasa yang berinteraksi sebagai entitas masyarakat sudah sejak lama. Sebuah kota peradaban yang kosmopolitan. Orang mungkin tak banyak mendengar tentang sebuah kota mungil di Kepulauan Maluku ini, jika dibandingkan dengan Banda, Ambon atau Ternate. Padahal, justru melalu kota ini, perlintasan sejarah bangsa ini pernah terjadi. Lalu Elat hanyalah saksi bisu di antara dinamika kesejarahan yang kian mewaktu.
Di kemudian waktu, hari-hari ini, ia kerap digerogoti oleh kabar tak sedap tentang beberapa kelompok orang yang terus sibuk berseteru. Seolah persoalan konsesual yang bersifat primordial di basis masyarakat itu tidak pernah selesai. Ini mestinya tidak tepat!
Sebagai sebuah wilayah administratif di Kepulauan Maluku yang sunyi dari sentuhan-sentuhan pembangunan (manusia maupun non manusia) -nya, mestinya peristiwa aksidentil yang terjadi belakangan dapat dicerna sebagai bentuk reaktif dari kelompok masyarakat yang mendiami kota ini kepada para pemangku kebijakan pembangunan itu sendiri.
Sebab, terkadang, untuk mencapai titik damai dalam konteks pembangunan, maka sudah barang tentu persoalan keadilan yang distributif dan terkonsolidir dengan baik dan bertanggung jawab itu harus diperhatikan kembali.
Membangun Elat yang damai adalah memenuhi rasa keadilan di basis masyarakatnya: kelompok orang-orang kecil yang telah mendiami kota ini jauh sebelum Portugis dan Spanyol menyepakati Tordesilas lalu “berwisata” ke Maluku.
Pada sebuah catatan kecil ini, saya pun hendak menyelipkan kesunyataan sejarah perihal para patriotis dari Kepulauan Kei kepunyaan bangsa ini. Di Maluku, bukan hanya Pattimura, Christina Martha Tiahahu, Leimena atau Latuharihari, termasuk sang ‘jago toea’ A.M. Sangadji (yang hingga kini belum berstatus sebagai pahlawan nasional tersebut). Ada pula sederet nama seperti Komarudin ‘Janur Kuning’ (Eliyakim Teniwut), Karel Sadsuitubun hingga Bonaventura Setitit (Bon Setitit) yang ketiganya merupakan para putera terbaik dari Kepulauan Kei. Dua di antaranya (Komarudin dan Bon Setitit) masih bernasib seperti mendiang ‘Jago Toea’ hingga saat ini.
Menyebut Elat, kota kecil kosmopolitan di Kepulauan Kei, Maluku itu, tepat menandai ketiga patriotis tersebut.
Semoga lekas ‘sembuh’, negeriku, Elat kami. Negeri para datuk yang damai. []
Tidak ada komentar