Melanesiatimes.com – Seorang guru besar, pada sekali waktu, meminta saya menyiapkan catatan singkat mengenai profil sang ‘Jago Tua’, sesaat setelah saya layangkan sebuah undangan diskusi perihal status kepahlawanan nasional yang hingga mendekati seabad kemerdekaan bangsa ini tak kunjung dianugerahkan kepada mendiang (Abdul Muthalib Sangadji/AM. Sagadji).
Saya hanya menduga, tentu dengan kadar keawaman saya, bahwa beliau butuh lebih dari sekadar sumber-sumber yang sudah ada yang lazimnya diakses banyak kalangan mengenai posisi kepeloporan Jago Tua bagi perjuangan mendirikan bangsa dan negara ini.
Saya lantas menanggapi permintaan beliau dengan sebuah tanggapan yang, setidaknya menurut saya, cukup elementer dan bisa saya pertanggungjawabkan. Jika yang dibutuhkan adalah otentisitas perjuangan Jago Tua bagi bangsa ini. Di samping saya sadari benar jika secara administratif, proses pengusulan nama seorang tokoh bangsa agar bisa dianugerahkan gelar sebagai seorang pahlawan nasional itu tidaklah seserimonial mendiskusikannya pada setiap menjelang hari pahlawan nasional. Apalagi mengenai hal-hal politis mulai dari level daerah hingga pusat yang menyertainya. Tak mudah memang!
Saya hanya mempersoalkan tentang apa bedanya mendiang dr. Johannes Leimena dengan AM. Sangadji? Ketika keduanya adalah dua di antara para saksi dan pelaku sejarah Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 itu. Ataukah apa bedanya mendiang HOS. Tjokroaminoto atau KH. Agoes Salim, para sokoguru bangsa itu, dengan AM. Sangadji? Ketika ketiganya bahkan disebut sebagai “tiga serangkai” dalam Sarekat Islam (SI) kala itu.
Saya juga sempat bertanya: “Apa syarat paling politis yang harus dipunyai oleh seorang tokoh bangsa–sebutlah seperti Jago Tua–untuk sekadar dianugerahi gelar pahlawan nasional, jikalau kriteria paling mendasarnya ialah memiliki andil atau disebut berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini?”
Toh, Jago Tua bukan sekadar telah memperjuangkan, ia bahkan sekaligus menjadi salah satu pelopor perjuangan kemerdekaan tersebut!
Tak lama kemudian, guru besar itu menanggapi ‘proposal’ singkat saya. Beliau bersedia hadir dalam forum diskusi yang kami helat. Akan tetapi, laiknya sebuah diskusi yang setiap kesudahannya menghadirkan poin-poin rekomendasi, tanpa ada upaya tindak-lanjut dan segala tetek bengeknya, tetap saja menjadi hambar. Meskipun itu termasuk sekecil-kecilnya tindakan yang kerap kami upayakan.
Semoga akan datang di saat yang tepat, di mana AM. Sangadji adalah (juga pahlawan nasional sebagaimana) Leimena, atau kedua karibnya itu (‘Jang Oetama’/HOS. Tjokroaminoto dan ‘Cendekiawan Poliglot’/KH. Agoes Salim)!
Oleh Moehar Sjahdi | Ceo Sera Institute