Menalar Penanganan Kejaksaan Agung Terhadap Kasus Impor Garam

Melanesiatimes.com – Kasus impor garam kembali mengemuka. Kali ini yang disasar adalah mantan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Kasus ini kemudian bergulir liar sehingga kemudian menyeret beberapa orang, diantaranya adalah mantan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi , yang saat ini menjabat sebagai Corporate Secretary Pertamina dan bahkan mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti.

Bacaan Lainnya

 

Tanpa ingin ikut campur dalam proses penyidikan yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung, rasanya perlu kita mengetahui bagaimana proses impor garam ini dari hulu ke hilir. Jika kita mundur pada tahun-tahun dimana peristiwa terjadi, maka sesungguhnya kita mudah menerka dimana ujung permasalahannya. Dengan kata lain, perlu kiranya para jaksa penyidik memahami dahulu soal garam sebelum mengurus kasus impor garam, agar kemudian tidak terjadi penyelewengan persepsi.

 

Seperti diketahui, bahwa kadar garam perairan Indonesia adalah untuk garam rumah tangga, itupun masih jauh dari pemenuhan kebutuhan lokal. Disamping masih maraknya praktik tengkulak bahkan kartel dalam industri garam rakyat yang sangat sulit diputus mata rantainya. Karena itulah kemudian secara faktual kita memang membutuhkan impor garam, bukan sekedar memenuhi kebutuhan garam rumah tangga lokal tetapi juga untuk memenuhi keterbutuhan garam untuk industri.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2016, sesuai kapasitas, maka Menteri KKP mengajukan rekomendasi impor garam karena stok lokal masih sangat jauh dari kebutuhan. Bayangkan saja, kebutuhan kita akan garam kurang lebih sekitar 2,1 juta ton, sedangkan stok nasional saat itu hanya sekitar 350 ribu ton saja. Untuk itulah, kemudian Susi sebagai Menteri KKP mengajukan rekomendasi impor garam sebesar 1,8 juta ton. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan lokal.

 

Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa diimpor bukan sesuai kebutuhan saja, tetapi hingga tembus di angka 3,7 juta ton. Uniknya, sandaran hukum Kemenperin saat itu adalah PP Nomor 41 tahun 2015 dan rapat persetujuan impor dilakukan saat Menteri KKP, Susi Pujiastuti sedang berada di luar negeri untuk kunjungan kerja kementerian. Saat itu, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, selaku dirjen, diminta untuk mewakili menteri.

Secara hukum, over suplai sebesar 1,6 juta ton memang mengandung masalah serius. Bukan hanya dilakukan tumpang tindih dengan UU No 7/2016, tetapi juga dilakukan berlebihan sehingga melampaui stok kebutuhan nasional. Apalagi, mendadak muncul 4 importir baru yang ikut serta mengantungi ijin impor garam tersebut, diluar 21 importir yang sudah ada sebelumnya. Indikasi kongkalikong impor garam sebenarnya bisa ditarik dari hal ini, tentang siapa keempat importir dadakan itu dan atas rekomendasi dan ijin siapakah mereka mengantungi ijin impor.

 

Agak mundur kebelakang, jika kita melihat persoalan mengapa kita harus mengimpor garam adalah karena adanya dua persoalan utama, pertama adalah fakta bahwa kadar garam perairan kita adalah untuk garam rumah tangga sehingga kita pada akhirnya terpaksa harus impor dan kedua, praktik kartel dan tengkulak masih merajalela dalam industri garam rakyat.

Penulis masih ingat bahwa di tahun 2017, Menteri KKP bahkan sudah menginginkan menyetop impor dengan melakukan terobosan tekhnologi yang dapat mengkonversi garam rumah tangga menjadi garam industri, hal mana telah dilakukan oleh beberapa kampus. Sayangnya, terobosan itu tidak pernah terealisasi. Kami saat itu menyebutnya sebagai konsepsi ‘Peta Jalan Garam Nasional’.

Nah, kembali kepada judul tulisan diatas, maka sebenarnya mudah bagi penyidik kejaksaan untuk mengurai kusutnya impor garam ini. Pertama, pahami mengapa kita harus tetap impor dan kedua adalah mengapa kita mengimpor jauh lebih banyak daripada kebutuhan nasional.

Bagaimana bisa mengusut kasus impor garam jika para penyidik tak pernah tahu rasa asin garam?

Tabik.

 

Oleh : Irwan. S

(Penulis adalah Rakyat Indonesia)

Pos terkait