OpinI

Catatan Reflektif Milad HMI ke 75, Tentang ‘Mawas Diri’ HMI

45
×

Catatan Reflektif Milad HMI ke 75, Tentang ‘Mawas Diri’ HMI

Sebarkan artikel ini

Melanesiatimes.com – Tepat pada tiga per empat abad kehadiranya hari ini, sebagai salah satu penyangga bangunan keumatan (kemanusiaan) dan ke-Indonesia-an (kebangsaan) agar tetap kokoh dan eksis, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) tentu diharapkan tetap menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi ketahanan dua bangunan nilai (dasar) tersebut. Sebuah pijakan profetik bagi tujuan mencapai kualitas insan cita.

Saya lantas menyebut bahwa anggapan tersebut justru terlampau ideal bagi dinamika keber-HMI-an kini, pada hari-hari ini, di era semesta digital ini. Mengapa? Sebab HMI sudah terlalu lama ‘meninggalkan’ dirinya sendiri. Akibatnya lebih banyak enggan untuk mawas diri: membenihkan kembali ‘tradisi’ autokritik!

Saya pun sesekali membatin, jangan-jangan dalam keadaan ‘jatuh cinta’ yang sedemikian parahnya kepada HMI, mendiang Cak Nur (1939-2005)–salah satu pentolan penyusunan NIK/NDP (Nilai-nilai Identitas Kader atau Nilai-nilai Dasar Perjuangan) HMI, sekaligus satu-satunya ketua umum PB HMI terpilih dua periode berturut-turut itu–lantas pernah menyarankan tentang pembubaran HMI. Seturut apa yang dicatat oleh sejarawan HMI, mendiang Agussalim Sitompul (1944-2013) dalam “44 Indikator Kemunduran HMI.” Atau masih berderet lagi nama-nama tertentu dalam kapasitasnya sebagai kader HMI yang tak segan-segan membangun autokritik dan proses dialektis dalam ber-HMI itu sendiri.

Bang Agus, sapaan akrab kami biasanya kepada mendiang Agussalim Sitompul, dalam percakapan tertentu kerap mempleseti kepanjangan dari akronim HMI menjadi ‘Himpunan Mencari Istri’ atau ‘Hotel Mertua Indah’ bagi kader yang telah menikah. Hingga HMI sebagai sebaik-baik ‘Harapan Masyarakat Indonesia’ seperti yang pernah diucapkan oleh mendiang Jenderal Soedirman pada saat itu.

Nah, dalam kurun kekinian, masihkah HMI adalah ‘Harapan Masyarakat Indonesia’?

Tentu pertanyaan serupa ini tak sekadar menghendaki tanggapan-tanggapan klise yang terus berusaha menyeret kembali romantisme masa lalu sebagai kebanggaan-kebanggaan semu. Lantas cenderung mengabaikan gempuran tantangan zaman dari segala penjuru mata angin yang semakin tak terelakan kini.

Toh, HMI pun bukan Avatar yang mampu menahan gempuran dari anasir-anasir alam yang datang menerjang sewaktu-waktu. HMI hanya butuh mawas diri. Misalnya, dari yang cenderung bahkan terlampau profit-is menjadi profetis sebagai personal maupun kolegial. Dan lain sebagainya!

Saya pun tak lupa, ketika dalam momen-momen tertentu, entah dalam sebuah pertemuan formal atau non formal di HMI, satu dua senior–kami terbiasa menyapanya dengan sebutan Kanda untuk laki-laki dan Yunda untuk perempuan–sering mennyampaikan bahwa: “Di HMI, kita berkawan bahkan lebih dari saudara.”

Entah mengapa, saya selalu menempatkan ungkapan seperti itu pada standar yang ideal. Sebab mestinya dinamika berkawan di HMI itu dikontekskan pada ruangnya yang obyektif (real), bahwa ternyata: tak jarang di HMI, kita berkawan juga bisa lebih dari serigala–meminjam ilustrasi Hobbes (1588-1679), sang filsuf Inggris itu.

Di ujung catatan reflektif ini, saya hendak meyudahinya dengan sederet dua ungkapan baik, bahwa: “Maturity does not come with age. It begins with the acceptance of responsibility.”

Tujuh puluh lima bukan hanya tentang usia. Tapi sekaligus mengenai cara menjadi (manusia dan bangsa) Indonesia yang terus tumbuh dan tangguh.

 

Selamat hari jadi Lafran Pane (1922-1991). Selamat hari jadi HMI.

Yakin Usaha Sampai!

Penulis : Muhar Syahdi Difinubun

—————————————————————-

Batavia, 5 Februari 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *