Melanesiatimes.com – Jangan sampai kamu sebagai generasi yang buta sejarah dan tidak memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah gaya baru, di era digital ini kawan. Ambil semangatnya dan merekonstruksi sesuai zaman mu. Pada Momentum hari pahlawan Nasional 2021. Kami merasa perlu memberikan sedikit ulasan tentang semngat perjuangan pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia pada abad ke-19, seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Dengan besarnya jasa perempuan tersebut, seluruh generasi muda atau generasi millenial terutama perempuan yang ada di Indonesia dapat selalu menghargai orang tua serta pertingnya mengambil semangat hidup dari tokoh Pejuang Perempuan Indonesia yang telah pergi meninggalkan kita, namun semangat mereka jangan sampai pergi bersama mereka. Berikut adalah sedikit ulasaan tentang Srikandi Berdarah Jawa Tengah.
Berikut yang termasuk bagian reorientasi pada kutipan kutipan biografi RA Kartini adalah. Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal ibu Kartini merupakan keturunan keluarga terpandang Jawa dia lahir 21 April 1879 di mana adat istiadat masih kukuh dipegang oleh masyarakat termasuk keluarganya. Kartini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca buku ilmu pengetahuan kesukaannya membaca ini berubah menjadi rutinitas harian bahkan dia tidak segan untuk bertanya kepada ayahnya bila ada hal yang tidak dimengertinya lambat laun pengetahuannya bertambah dan wawasannya pun meluas.
Dalam pandangannya wanita tidak hanya harus bisa urusan belakang rumah tangga saja lebih dari itu wanita juga harus punya wawasan dan ilmu yang luas dia pun mulai bergerak mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajari baca tulis dan pengetahuan lainnya makin hari Kartini makin disibukan dengan aktifitas membaca dan mengajarnya. Sesuai Keppres no 10 tahun 1964 pada 2 Mei 1964 Kartini resmi digelari pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia ini juga menetapkan tanggal 21 April sebagai hari Kartini
“R.A Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya ‘konco wingking’, artinya perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya,” kata Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Jogjakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya. Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan, dan hanya dari kalangan bangsawan saja yang bisa.
Beliau juga tidak membatasi diri dengan lingkungan sekitar. Bahkan ia dapat berbaur dengan masyarakat dari berbagai kalangan tanpa membeda-bedakannya berdasarkan status sosial. Keteguhannya untuk menyetarakan gender sempat mendapatkan tentangan dari masyarakat. R.A Kartini menilai bahwa perempuan tidak hanya bisa menjadi ibu rumah tangga saja, melainkan dapat mengenyam pendidikan dan mengejar cita-citanya.
Layaknya hubungan anak dan orang tua, ada saja perbedaan pendapat yang terjadi. Termasuk R.A Kartini yang memiliki perbedaan pandangan hidup dengan orang tuanya. Namun, beliau berusaha untuk tetap menghormati dan menghargai keputusan yang diambil oleh orangtuanya. (Berbagai Sumber).
Tidak ada komentar