Melanesiatimes.com – Jangan sampai kamu sebagai generasi yang buta sejarah dan tidak memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah gaya baru, di era digital ini kawan. Ambil semangatnya dan merekonstruksi sesuai zaman mu. Pada Momentum hari pahlawan Nasional 2021. Kami merasa perlu memberikan sedikit ulasan tentang semngat perjuangan pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia pada abad ke-19, seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Dengan besarnya jasa perempuan tersebut, seluruh generasi muda atau generasi millenial terutama perempuan yang ada di Indonesia dapat selalu menghargai orang tua serta pertingnya mengambil semangat hidup dari tokoh Pejuang Perempuan Indonesia yang telah pergi meninggalkan kita, namun semangat mereka jangan sampai pergi bersama mereka. Berikut adalah sedikit ulasaan tentang Srikandi Asal Maluku.
Di Usianya baru 17 tahun tatkala Martha Christina Tiahahu terjun langsung dalam medan perang melawan tentara kolonial Belanda. Gadis yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusalaut ini merupakan putri sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu, salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.
Meski masih sangat belia, ia dikenal baik di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Martha pun kerap disebut sebagai srikandi dari Tanah Maluku.
Dengan rambut panjangnya yang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia mendampingi ayahnya angkat senjata untuk mengusir penjajah di Pulau Nusa Laut maupun di Pulau Saparua.
Pada waktu yang sama, Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Martha sedang mendampingi sang ayah memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut, di waktu yang sama Kapten Pattimura juga sedang melawan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua ini menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya. Terjadinya perlawanan di Saparua didasari oleh adanya tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda melalui pelayaran Hongi di Maluku.
Kemudian, muncul kesengsaraan Maluku karena kebijakan penyerahan wajib berupa penyerahan ikan asin, kopi, dan hasil laut lain kepada Belanda. Saat perlawanan terjadi, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu Kapiten Pattimura. Bantuan tersebut membuat Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian. Pada 10 Oktober 1817, Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa ada perlawanan.
Sementara itu, pertempuran di Saparua masih terus berkobar. Karena persediaan peluru semakin berkurang, mundurlah mereka ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan tersebut ada Martha beserta para raja dan patih dari Nusalaut. Pada 11 Oktober 1817, pasukan Belanda dipimpin oleh Richemont bergerak ke Ulath. Namun, mereka berhasil dipukul mundur. Tidak berhenti di situ, Mayor Beetjes dan Richemont kembali melakukan perlawanan dengan kekuatan 100 orang prajurit. Namun, dalam pertempuran ini, Richemont tertembak mati.
Mayor Beetjes dan pasukannya berusaha untuk bertahan di tanjakan negeri Ouw. Di tengah keganasan pertempuran ini, muncullah seorang gadis remaja yang menantang peluru musuh. Ia adalah Martha Christina Tiahahu. Sembari mendampingi sang ayah melakukan perlawanan, Martha memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Out untuk ikut mendampingi kaum pria di pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan yang turut bertempur.
Pertempuran pun semakin sengit setelah sebuah peluru mengenai leher salah satu pimpinan Belanda, Mayor Beetjes. Komando pun kemudian diambil oleh Vermeulen Kringer, sang kapten. Pada 12 Oktober 1817, Vermeulen memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat. Saat pasukan rakyat menyerang kembali menggunakan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru mereka sudah habis. Vermeulen pun memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melangsungkan serangan.
Akibatnya, Martha dan sang ayah tertangkap dan dibawa ke Kapal Eversten. Di dalam kapal inilah para tawanan bertmu dengan Kapitan Pattimura. Para tawanan pun diinterogasi oleh Buyskes, birokrat Belanda, dan dijatuhi hukuman. Namun, Martha yang masih berusia sangat muda dibebaskan oleh Buyskes, sedangkan sang ayah dijatuhi hukuman mati. Pada 16 Oktober 1817, Martha beserta sang ayah dibawa ke Nusalaut. Mereka ditahan di Benteng Beverwijk sambil menunggu eksekusi mati untuk ayahnya. Sepeninggal ayahnya, kesehatan Martha mulai terganggu. (Bebrbagai Sumber).