Melanesiatimes.com – Jangan sampai kamu sebagai generasi yang buta sejarah dan tidak memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah gaya baru, di era digital ini kawan. Ambil semangatnya dan merekonstruksi sesuai zaman mu. Pada Momentum hari pahlawan Nasional 2021. Kami merasa perlu memberikan sedikit ulasan tentang semngat perjuangan pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia pada abad ke-19, seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Dengan besarnya jasa perempuan tersebut, seluruh generasi muda atau generasi millenial terutama perempuan yang ada di Indonesia dapat selalu menghargai orang tua serta pertingnya mengambil semangat hidup dari tokoh Pejuang Perempuan Indonesia yang telah pergi meninggalkan kita, namun semangat mereka jangan sampai pergi bersama mereka. Berikut adalah sedikit ulasaan tentang Srikandi Asal Jawa Barat.
Raden Ayu Dewi Sartika bukanlah anak perempuan biasa kala itu. Ia adalah anak perempuan dari Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara. Perempuan yang lahir 4 Desember 1884 itu memberikan pertanda baik bagi keluarganya.
Saat masih kecil, Dewi Sartika beruntung bisa bersekolah di sekolah kelas satu – De Scholen der Eerste Klasse. Tidak seperti nasib anak perempuan lainnya yang tidak bisa bersekolah, lantaran yang diprioritaskan hanya anak laki-laki. Sang ayah lah yang menyekolahkan Dewi untuk dijadikan bekal anaknya di kehidupan dewasa.
Enden Uwi, panggilan Dewi Sartika, tumbuh menjadi anak yang cerdas, kritis, dan lincah. Sang ibunda, Raden Ayu Rajapermas juga tak lupa mengajarkan budi pekerti dan keterampilan di rumah.
“Tuan guru bilang Uwi cepat sekali menyerap pelajaran, terutama bahasa Belanda dan Inggris. Ia juga disenangi teman-temannya,” ucap ayah Dewi Sartika menceritakan pada istrinya, dikutip dari buku Raden Dewi Sartika: Pendidik Bangsa dari Pasunda karya E.Rokajat Asura.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Tak lama, sang ayah dihukum buang ketika Kanjeng Dalem datang dan menganggapnya sebagai oposisi. Sejak itu Dewi Sartika tak bisa melanjutkan sekolahnya. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Sebagai salah seorang tokoh pejuang Indonesia, ternyata sosok Dewi Sartika merupakan anak dari seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu Raden Somanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas.
Kedua orangtua Dewi Sartika juga merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Dikarenakan menentang Hindia Belanda, kedua orangtua Dewi Sartika diasingkan ke Ternate dan terpisah oleh dirinya. Setelah kedua orangtuanya mendinggal, Dewi Sartika kemudian diasuh sang paman, Aria. Dari sang Paman, Dewi Sartika mendapatkan ilmu pengetahuan terkait adat budaya Sunda.
Tak hanya mempelajari adat Sunda, seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda juga mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat. Hal ini yang membuat Dewi Sartika ingin memajukan pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia.
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tidak ada komentar