Oleh : Laode Muhamad Imran (Sekjen Pengurus Besar HMI MPO).
MELANESIATIMES.COM – Wacana mengenai Pengesahan RUU Kepulauan terus bergulir hingga saat ini. Hal ini terlihat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021, terdapat 33 Rancangan Undang-Undang (RUU). Salah satunya merupakan usulan DPD RI yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan yang diusulkan sejak 17 Desember 2019.
Wacana ini bukan tanpa alasan, tapi berangkat dari persoalan bahwa regulasi saat ini dinilai masih mensamaratakan antara Daratan dan Kepulauan, sehingga tidak menyentuh akar persoalan di daerah-daerah Kepulauan, dikarenakan adanya perbedaan karakteristik geografis, sosial budaya dan ekonomi. Maka penyusunan RUU Kepulauan ini bertujuan untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan di daerah kepulauan. Merujuk pada hal tersebut, maka RUU Kepulauan dipandang sangat perlu untuk disahkan.
RUU Kepulauan diusulkan oleh 8 Provinsi pada Deklarasi Batam diawal Januari 2018 yakni Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Bagi Daerah Kepulauan, RUU Kepulauan menjadi solusi yang dapat dijadikan sebagai landasan legal dan berkeadilan dalam mengakselerasi pemerataan pembangunan.
Urgensi RUU Kepulauan
RUU Kepulauan menjadi Urgen untuk disahkan menjadi UU dapat dilihat dari aspek historis, Kondisi Di daerah kepulauan dan Akselerasi Pemerataan Pembangunan.
Secara historis, dapat Dilihat dalam Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Deklarasi Djuanda menegaskan “Prinsip Negara Kepulauan” (Archipelagic State Principle), yang memandang wilayah laut dan darat sebagai suatu kesatuan yang utuh sesuai filosofi “Tanah-Air”. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 telah membuka jalan untuk berkembangnya konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan tanah (daratan) dan air (laut) menjadi suatu kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Sehingga wawasan Nusantara diakui didunia Pada pertemuan Konvensi Hukum Laut PBB ke-3 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982
Kondisi Daerah Kepulauan
Secara realitas Daerah Kepulauan memiliki perbedaan dengan non Kepulauan baik dari segi sosiologis, Manajemen administrasi Pemerintahan, Pelayanan Masyarakat, Keterlambatan pembangunan infrastruktur serta membutuhkan pendekatan prosperity dan security secara
bersamaan (Santoso, 2009).
Harus kita akui dalam berbagai literatur, sejak lama terdapat sekelumit persoalan yang dihadapi daerah Kepulauan. Hal ini terlihat pada akses terhadap pelayanan pemerintahan dan pelayanan dasar yang belum memadai baik dari ketersediaan infrastruktur maupun aksesibilitas infrastruktur; rendahnya kualitas sumber daya manusia; terbatasnya kemampuan keuangan daerah dan ketergantungan fiskal yang sangat tinggi pada pemerintah; yang menyebabkan disparitas layanan, ekonomi dan kesejahteraan antar wilayah; ditambah tingginya ancaman bencana termasuk yang disebabkan oleh perubahan iklim (Lutfi, 2020).
Selain itu formulasi transfer dana dalam APBN dari pusat ke daerah yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang masih memiliki kelemahan yaitu dana transfer umum dan khusus ke daerah berpijak dan mengutamakan jumlah penduduk dan luas daratan, dibanding luas wilayah perairan.
Hal ini negara dinilai tidak hadir dan tidak adil bagi daerah-daerah yang terkategori Kepulauan. Karena adanya kekosongan regulasi untuk pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan berbasis Kepulauan.
Melihat kondisi tersebut, maka Hadirnya RUU Kepulauan manjadi solusi dalam mengatasi persoalan di daerah kepulauan. Apalagi selama ini belum ada regulasi yang mengatur secara eksplisit tentang pengaturan ruang dan wewenang terutama untuk pengelolaan laut di wilayah kepulauan.
Akselerasi Pemerataan Pembangunan
Isu Pemerataan Pembangunan menjadi sangat perlu dilakukan bila melihat data yang diliris peringkat indeks pembangunan inklusif atau Inclusive Development Index (IDI), yang dirilis World Economic Forum (WEF)tahun 2017. Dari 79 negara berkembang, Indonesia menempati peringkat ke-22 indeks pemerataan pembangunan, di bawah Thailand dan Malaysia, yang masing-masing menempati posisi 12 dan 16.
Pemerataan pembangunan merupakan jawaban terhadap masalah ketimpangan. Pengesahan RUU Kepulauan menjadi UU dinilai dapat menekan angka ketimpangan pembangunan antar wilayah daratan dan Kepulauan seperti kapasitas SDM, pengelolaan SDA dan membangun konektivitas infrastruktur antar wilayah.
Untuk mengakselerasi pembangunan di daerah kepulauan maka diperlukan dukungan sarana infrastruktur yang memadai. Hal ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi regional, mempermudah pertukaran barang dan jasa antar provinsi dan antar pulau. Oleh karena itu daerah Kepulauan membutuhkan regulasi yang dapat mengakomodasi tiga kebutuhan penting, yaitu pengakuan atas ruang, pemberian wewenang lebih tepat di bidang pengelolaan perairan dan laut dan dukungan pendanaan.
Tidak ada komentar