OpinI

Pilkada, Etika Politik, dan Penegakkan Hukum

33
×

Pilkada, Etika Politik, dan Penegakkan Hukum

Sebarkan artikel ini

Melanesiatimes.com – Pesta demokrasi lima tahunan pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan secara serentak di Indonesia pada 23 september 2020 mendatang, hal ini tentu memberikan ruang tersendiri bagi para pasangan calon yang akan maju dan bersaing dalam merebut simpati Rakyat untuk membawa daerahnya ke arah yang lebih baik.

Harapan akan terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera dalam setiap aspek haruslah menjadi parameter perubahan yang signifikan dan komprehensif. visi misi para calkada harus dapat dipertanggungjawabkan secara serius bukan hanya pintar berwacana bak singa podium di depan massa publik namun realitanya ketika terpilih janji² politik di masa kampanye pun terabaikan, entah apa yang merasuki mereka.?

Etika politik sebagai falsafah moral dalam proses berdemokrasi harus dikedepankan, oleh para kontestan yang akan bersaing nanti, berani melakukan kontrak politik (revolusi sikap) dengan rakyat, menolak cara² inkonstitusional untuk mendapatkan kekuasaan karena akan menciderai proses demokratisasi itu sendiri. payung hukum (asas legalitas) tentang etika politik kehidupan berbangsa dan bernegara diatur jelas dalam TAP MPR NO 4 Tahun 2001.TAP ini sebagai acuan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara artinya bahwa pemerintahan itu harus menjunjung tinggi nilai² pancasila yang berkeadaban bebas dari segala conflict of interest, bersih dari praktik² korupsi, kolusi, nepotisme, agar senantiasa penyelenggaraan pemerintahan itu berjalan sesuai ketentuan perundang²n yang berlaku di Bangsa ini.

Evaluasi terhadap rekam jejak atau trade record bakal calon pemimpin yang akan diusung di daerah itu pun tak kalah penting, hal ini dalam rangka menjamin secara fair kehadapan pemilih cerdas bahwasanya memilih pemimpin itu kudu berkualitas agar tidak memberikan preseden buruk di masa jabatannya kelak ketika terpilih dan berada dalam pemerintahan.

Adapun tujuan bernegara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam amanat konstitusi ( UUD 1945) sejatinya menjadi energi positif, nurani dan rasionalitas bagi calon kepala daerah supaya tidak lupa diri tetapi tahu diri. jika tidak dipahami akan mudah terjerembab dalam kubangan lumpur yang akan dipertanggungjawabkan atas nama Konstitusi dan sudah barang tentu kehilangan kepercayaan daulat rakyat.

Kesadaran hukum rakyat terhadap adanya dugaan praktik politik transaksional (politik uang) di level pilkada harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, pengawas dan penyelenggara pemilu.Rakyat diharapkan bekerja sama menolak serta menjadikan politik uang sebagai musuh bersama (common enemy) parpol pengusung calon kepala daerah pun diminta tegas kepada anggotanya jika terindikasi melakukan politik uang sanksinya harus jelas, pemecatan dengan tidak hormat.

Fenomena politik uang, adalah refleksi realitas kekinian maka penting dan mendesak dideteksi secara dini,ditekan,dicegah,oleh lembaga penegak hukum,pengawas dan penyelenggara pemilu agar tidak menjadi virus pembodohan pendidikan politik buruk di tengah² masyarakat yang menghendaki lahirnya sosok baru kepala daerah yang meneladani sifat Rasulullah SAW yaitu siddiq, amanah, fathonah, tabligh.

Rakyat jangan hanya dijadikan objek politisasi kekuasaan tetapi harus diikutsertakan terlibat mengelola perekonomian rakyat, menentukan aturan main, tanpa mengurangi sedikitpun etika moral yang berlaku. Undang² Nomor 32 tahun 2004( tentang Pemerintahan Daerah) Baik,Bersih dan Berwibawa adalah sebuah keniscayaan. demikian halnya pula jika merujuk/mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Sistem Keterbukaaan Informasi Publik, dimana hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia (HAM) dan keterbukaan informasi publik adalah syarat dan ciri penting Negara demokratis menjunjung tinggi kedaulatan rakyat guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. setiap kebijakan pemerintah daerah harus pro terhadap rakyat bukan menyengsarakan rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan ( vox populi vox dei) .

Penulis  : Kamil Mony ( Praktisi Hukum)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *